REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan, berbagai indikator utama perekonomian telah menunjukkan tren positif. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi terdorong dari konsumsi, investasi, dan ekspor yang tumbuh positif.
Demikian pula dari sisi suplai, hampir semua sektor tumbuh positif merespons adanya peningkatan permintaan. Mobilitas penduduk juga mulai mengalami peningkatan sejak awal Agustus 2021.
Hingga 20 Desember 2021, peningkatan mobilitas penduduk tidak diikuti peningkatan kasus positif Covid-19. Situasi pandemi Covid-19 tetap terkendali pada tingkat yang rendah dengan kasus konfirmasi harian sebanyak 133 kasus, turun 99,7 persen dari puncaknya pada 15 Juli 2021 yang mencapai 56.757 kasus.
Meski begitu, masyarakat tetap harus waspada dengan varian Omicron yang telah terdeteksi di 100 negara termasuk Indonesia. “Peningkatan permintaan ini mendorong sektor manufaktur untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Penurunan level PPKM mendorong pemintaan domestik yang tercermin dari realisasi inflasi November 2021,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso pada Forum Asisten Perekonomian dan Pembangunan se-Indonesia 2021 secara virtual di Jakarta, Selasa (21/12).
Indonesia, kata dia, juga memiliki keseimbangan eksternal dan internal yang kuat. Neraca perdagangan Indonesia pada bulan November 2021 mengalami surplus 3,51 miliar dolar AS atau surplus selama 19 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Kinerja ekspor pun terus meningkat seiring kenaikan harga komoditas utama Indonesia dan permintaan global. Harga komoditas yang meningkat seperti agrikultur, energi dan metals turut mendorong surplus neraca perdagangan, yang berimbas kepada menguatnya neraca pembayaran. Penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga mengalami penguatan, sehingga defisit APBN lebih baik dari target.
Fundamental ekonomi Indonesia cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya dalam menghadapi ketidakpastian kebijakan moneter Amerika Serikat. Tingkat inflasi Indonesia sebesar 1,7 persen yang masih di bawah target Bank Indonesia sebesar 2 sampai 4 persen serta gross public debt yang terkontrol turut berperan dalam ketahanan Indonesia dalam menghadapi perubahan kebijakan moneter AS.
Selain itu, tingkat vulnerability Indonesia juga relatif rendah. Indonesia sebagai anggota fragile five pada taper tantrum 2013, menunjukkan perbaikan fundamental ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh governance yang baik, utang yang terjaga, serta cadangan devisa yang mumpuni.
Dalam tantangan ke depan, katanya, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai risiko domestik dari kenaikan kasus covid-19 dan penyebaran varian baru, maupun dari eksternal seperti tapering off the FED, peningkatan harga komoditas, kenaikan inflasi global, krisis energi, perubahan iklim dan disrupsi rantai pasok. Target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2022 telah disepakati sebesar 5,2 persen.
Pemenuhan target tersebut tentunya akan sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19, pelaksanaan Program PEN. Sekaligus berbagai faktor lainnya termasuk respon kebijakan ekonomi yang tepat, penciptaan lapangan kerja yang signifikan, hingga kesiapan bertransformasi ke dalam teknologi digital.