REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inovasi adalah mengubah ide-ide kreatif menjadi produk teknologi komersial. Kreativitas adalah pembangkitan ide-ide baru. Invensi menghasilkan ide atau konsep baru, lalu inovasi mengubah konsep baru itu menjadi komersial atau penggunaan lebih luas. Inovasi adalah invensi plus komersialisasi. Demikian ditegaskan oleh Gaynor G.H (2002).
Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengemukan, ada 10 penyebab rendahnya kapasitas inovasi kelautan dan perikanan (KP) Indonesia.
Pertama, kebanyakan aktivitas R & D (Litbang) hanya untuk menghasilkan tulisan ilmiah (research just for research) dan prototipe teknologi (invensi). Sedikit sekali (3-4%) yang menghasilkan produk inovasi komersial yang dibutuhkan manusia dan pembangunan. “Sehingga, hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau pembangunan bangsa," kata Prof Rokhmin Dahuri saat tampil menjadi narasumber Gelar Riset dan Inovasi Bidang Kesehatan dan Pangan-BRIN, Rabu (1/12).
Kedua, dia menambahkan, rendahnya kreativitas, daya inovasi, dan entrepreneurship kebanyakan peneliti KP. Keriga, mayoritas pengusaha (industri) mengharapkan quick-wins (hasil instan). Sedangkan, sebagian besar hasil penelitian berupa prototipe (invention) baru bisa di-scalling-up menjadi inovasi teknologi komersial pada umumnya memerlukan waktu yang lebih lama.
“Tingkat keberhasilan Indonesia mentransformasi (mengindustrikan) hasil penelitian dari tahap prototipe (technological readiness) yang sudah mendapatkan hak paten menjadi produk teknologi komersial hanya 3,5 persen," ungkap Prof Rokhmin Dahuri mengutip data KemenristekDikti (2019).
Keempat, peran pemerintah sebagai ‘penjodoh’ (match maker) antara peneliti yang telah menghasilkan prototipe (invensi) dengan industriawan (pengusaha) untuk mentransformasi invensi menjadi inovasi masih jauh dari optimal.
Kelima, rendahnya penghargaan ekonomi maupun sosial dari pemerintah dan masyarakat kepada peneliti. Keenam, kurangnya insentif dan penghargaan dari pemerintah kepada industriawan yang mau (willing) mengindustrikan dan mengkomersialkan invensi para peneliti menjadi inovasi yang dibutuhakan konsumen (pasar) domestik maupun global (ekspor).
Ketujuh, minimnya kerja sama sinergis antara peneliti-swasta/industri-pemerintah (ABG = Academician–Business-Government). Kedelapan, kegagalan sistem pendidikan (mayoritas lulusan hanya bisa menghafal, tetapi lemah dalam hal analytical capability and problem solving, kreativitas, inovasi, teamwork, dan etos kerja unggul/akhlak mulia).
Kesembilan, rendahnya status gizi dan kesehatan masyarakat. “Dan kesepuluh adalah political commitment Pemerintah, DPR, dan elit pemimpin bangsa terhadap R & D dan inovasi sangat rendah,” papar Rokhmin dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Prof Rokhmin lalu menjelaskan sejumlah langkah yang perlu dilakukan untuk membangun ekosistem inovasi kelautan dan perikanan yang kondusif. Pertama, setiap aktivitas Litbanhg harus ditujukan untuk: (1) memecahkan permasalahan bangsa dan dunia saat ini maupun di masa depan; (2) pendayagunaan potensi pembangunan (SDA, SDM, dan posisi geoekonomi) bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa; dan (3) sesuai dengan kebutuhan pasar dan dinamika pembangunan (market and development-oriented research). “Output Litbang semacam ini pasti layak publikasi di Jurnal Ilmiah nasional maupun internasional,’ ujar Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Kedua, para peneliti (lembaga penelitian) harus meningkatkan kapasitasnya agar mampu menghasilkan hasil riset yang inovatif dan sesuai kebutuhan konsumen (pasar) di dalam maupun luar negeri: invensi yang mencapai technological readiness.
Ketiga, para peneliti (lembaga penelitian) harus melibatkan (bekerja sama dengan) pihak industri (users) dan pemerintah sejak tahap perencanaan, implementasi, industrialisasi (scaling up) sampai pemasaran hasil R & D.
Keempat, pemerintah harus menyediakan infrastruktur, sarana, dan anggaran (> 3% Produk Domestik Bruto) penelitian yang mencukupi; serta memberikan kesejahteraan dan penghargaan kepada para peneliti seperti halnya (benchmarking) di negara-negara maju atau emerging economies lainnya yang lebih maju dan makmur.
Kelima, pemerintah dan masyarakat menjamin kesejahteraan serta lebih menghargai peneliti, ilmuwan, dosen, dan guru sebagaimana di emerging economies yang lebih maju atau di negara industri maju dan kaya.
Keenam, pihak industri (swasta nasional dan BUMN) harus meningkatkan jiwa nasionalisme nya, sehingga dalam menggunakan teknologi tidak semata berdasarkan pada pertimbangan financial cost and benefit, mau mengembangkan teknologi nasional dari hasil riset tahap prototipe (invensi) bangsa sendiri.
Ketujuh, MNC (Multi National Corporation) diwajibkan melakukan transfer teknologi dan mengindustrikan (komersialkan) invensi peneliti nasional dengan melibatkan (mempekerjakan) peneliti, dosen, dan mahasiswa di perusahaan (industri)-nya, seperti di Singapura, Korea, dan China.
“Pemerintah memberikan insentif (seperti tax deduction dan bebas biaya impor untuk state of the art technology) dan penghargaan bagi swasta (industri) yang mau mengindustrikan invensi peneliti nasional,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.