REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hambatan nontarif (non-tariff measures /NTM) untuk bahan baku impor dinilai melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman Indonesia. Hal itu karena menimbulkan berbagai biaya tambahan serta menyebabkan waktu yang lebih lama untuk menjalankan proses yang ada.
“Hambatan nontarif untuk produk makanan dan minuman diperkirakan setara dengan tarif sebesar 49 persen. Dalam survey International Trade Centre, importir juga mengeluhkan maraknya pungutan liar dalam prosedur impor akibat adanya macam-macam hambatan nontarif,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/11).
NTM mensyaratkan dipenuhinya berbagai ketentuan seperti mengenai label, pengemasan, atau sertifikasi dan juga inspeksi pra pengiriman di pelabuhan asal yang memakan banyak waktu hingga memunculkan keterlambatan impor. Dwelling time atau masa penimbunan peti kemas di pelabuhan Indonesia yang sekitar lima hari, jauh di atas 1,5 hari di Singapura dan dua hari di Malaysia.
Ketika sedang ramai, proses administrasi, pengecekan, dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan. Keterlambatan waktu ini memakan biaya dan ini merugikan importir serta industri.
Dampak hambatan nontarif lainnya seperti sistem kuota yang diputuskan melalui rekomendasi Kementerian Perindustrian dan izin Kementerian Perdagangan, adalah terbatasnya akses kepada bahan baku dari pasar global.
Beberapa komoditas bahkan memiliki tambahan persyaratan, seperti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021, yang membatasi impor bahan baku gula hanya bagi pabrik gula yang didirikan tahun 2010 dan setelahnya padahal kebanyakan pabrik gula di Indonesia berusia lebih dari 100 tahun.
CIPS menemukan, industri pengolahan makanan dan minuman merupakan kontributor ekspor Indonesia terbesar kedua setelah pertambangan. Industri pengolahan makanan yang menyumbang sekitar 30-40 persen dari total hasil produksi mempekerjakan sekitar 20 persen dari pekerja sektor manufaktur. Usaha mikro kecil pengolahan makanan menyediakan 75 persen dari lapangan pekerjaan industri ini.
Investasi domestik pada industri pengolahan makanan terus meningkat, hingga menjadi sektor sekunder terbesar pada tahun 2019. Sektor ini juga menjadi sektor sekunder terbesar ketiga dalam Foreign Direct Investment (FDI) setelah kimia dan farmasi dan logam dasar.
Data BPS untuk kuartal III 2021 menunjukkan, industri makanan minuman adalah salah satu penyumbang pertumbuhan terbesar di manufaktur, dengan 3,49 persen secara year on year (yoy) dan 4,78 persen secara quartal to quartal (qtq).
Ia menuturkan, CIPS merekomendasikan penguatan posisi industri pengolahan pangan dengan mengganti sistem perizinan impor bahan baku yang ada dengan sistem persetujuan otomatis. Skema perizinan itu dinilai akan dapat menghapus keterbatasan akses bahan baku dan menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan importir untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia.
Sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan juga masih diperlukan. Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dapat memberi informasi potensi keuntungan dan kerugian suatu kebijakan serta dampaknya pada industri, masyarakat dan ekonomi, perlu diterapkan bersama tinjauan berkala atas seluruh kebijakan nontarif, yang direncanakan maupun sudah berjalan.
RIA dapat membantu Indonesia memutuskan kebijakan nontarif mana yang pantas dilanjutkan dan mana yang perlu dihapus, bisa mencegah keluarnya kebijakan nontarif baru yang semakin menghambat perdagangan, dan membantu perancangan kebijakan nontarif yang lebih strategis.