Kamis 04 Nov 2021 12:41 WIB

Akademisi Perlu Bantu Atasi Masalah Pertanian di Desa

Masyarakat desa diharapkan bisa memadukan kearifan lokal dan teknologi berbasis IoT.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Desa (ilustrasi)
Desa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Daerah pedesaan di seluruh dunia tetap menjadi sumber produksi pangan dan lokasi pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Meski begitu, saat ini banyak desa yang mengalami persoalan akibat bencana dan dampak perubahan iklim.

Prof Masaru Mizoguchi dari Universitas Tokyo mengatakan, sudah saatnya akademisi dan pakar pertanian membantu mengatasi persoalan petani. Mengembangkan keahlian memadukan kearifan lokal dan perkembangan teknologi berbasis Internet of Thing (IoT).

Banyak masalah yang ada di pedesaan datang dari bencana termasuk krisis iklim. Karenanya, ia mengajak petani berdedikasi yang memiliki banyak kearifan lokal mengembangkan teknologi pertanian baru menggabungkan kearifan dan ICT dan IoT.

Salah satu kegiatan penelitian yang dilakukan pengembangan pertanian di daerah Fukushima usai bencana gempa bumi, tsunami dan kecelakaan nuklir. Ia menuturkan, penelitian dilakukan sejak 2011 karena khawatir masih adanya radiasi radioaktif.

Yang mana, dampak ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir ke tanaman pangan dan lahan pertanian. Namun, anggapan itu dapat ditepis dalam pengembangan pertanian memanfaatkan kearifan lokal petani setempat dengan dukungan teknologi ICT dan IoT.

"Salah satu pengembangan teknologi yang dilakukan melakukan kontrol jarak jauh untuk mengetahui kelembaban dan suhu tanah selama produksi pertanian. Bahkan, teknologi sama digunakan dalam pembuatan kompos," kata Mizoguchi, Kamis (4/11).

Ia menerangkan, pembuatan kompos terdiri dari limbah kulit kayu, kotoran ternak sapi dan unggas, serta menggunakan bahan mikroba. Untuk kompos turut dipasang sensor untuk mengukur temperatur dan kelembaban agar hasilnya lebih baik.

Sensor bisa mengevaluasi efektivitas pemantauan jarak jauh untuk hasilkan kompos berkualitas tinggi, jadi tidak cuma andalkan intuisi. Sebab, pupuk kompos yang bagus seharusnya mengukur perubahan suhu proses fermentasi dan jumlah kadar air.

"Lewat IoT kita bisa mengukur perubahan kadar air kompos, ada hubungan antara peningkatan kadar air, peningkatan suhu dan penyiraman," ujar Mizoguchi dalam Konferensi Internasional Pertanian Cerdas dan Inovatif (Icosia) 2021.

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Dr Sarmin, turut memaparkan riset tentang profil hemoglobin dari status fisiologi kambing sapera. Sapera merupakan kambing dari persilangan antara kambing etawa lokal betina dengan kambing saanen jantan.

Banyak dibudidayakan jadi kambing perah. Sebagai keturunan baru, penting membuat data profil hemoglobin untuk menilai tingkat keparahan anemia. Hemoglobin adalah protein untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan sebaliknya.

Sarmin menerangkan, kambing sapera terindikasi memiliki kandungan oksigen lebih tinggi dibanding dengan saanen dan etawa. Jadi, semakin baik status hemoglobin, maka akan semakin bagus untuk tingkat produktivitas kambing dan produksi susu.

Ia menjelaskan, sapera memiliki status hemoglobin yang lebih tinggi, yang itu akan mempengaruhi produksi susu kambing. Dari status fisiologis, ia menemukan sapera mampu beradaptasi dengan pakan dan iklim yang ada di indonesia.

"Kita harap sapera banyak diproduksi selain etawa dan sanen," kata Sarmin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement