REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana melakukan penyederhanaan tarif cukai rokok. Hal ini sebagai upaya memaksimalkan penerimaan cukai rokok sekaligus melindungi pabrikan rokok skala kecil atau home industri.
Menurut Peneliti senior Universitas Padjadjaran (Unpad) Bayu Kharisma ada dua rekomendasi bagi pemerintah agar tidak menjalankan kebijakan penyederhanaan tarif cukai. Pertama, dari sisi penerimaan negara, wacana penyederhanaan karena berpotensi secara negatif menurunkan penerimaan negara.
"Kebijakan simplifikasi perlu dikaji secara matang dan hati-hati bahkan tidak perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada," ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Ahad (3/10).
Kedua, lanjut Bayu, dari sisi persaingan usaha, wacana simplifikasi berpotensi akan mendorong ke arah monopoli, dan akan menyebabkan rokok ilegal semakin marak.
"Kebijakan cukai dan struktur tarif cukai yang ada saat ini perlu dipertahankan sebagai bagian keberpihakan pemerintah pada industri rokok secara nasional (bukan pada perusahaan rokok golongan satu saja)," ucapnya.
Bayu menilai jika penyederhanaan tarif cukai diterapkan maka akan terjadi persaingan usaha menjadi tidak sehat. Hal ini mengingat perusahaan rokok legal yang kecil akan mengalami kesulitan bersaing dengan perusahaan rokok besar.
"Semakin berkurangnya penjualan rokok dan banyak perusahaan khususnya pabrikan rokok kecil yang legal akan gulung tikar terutama posisi sigaret kretek tangan (SKT) yang kehilangan pangsa pasarnya dan juga dikhawatirkan memperburuk tingkat pengangguran," ucapnya.
Menurut Bayu jumlah 10 layer tarif cukai hasil tembakau (CHT) sudah moderat, yaitu sigaret kretek mesin (SKM) tiga layer, sigaret putih mesin (SPM) tiga layer dan sigaret kretek tangan (SKT)/sigaret putih tangan (SPT) empat layer.
“Adanya simplifikasi yang tujuan awalnya untuk penyederhanaan administrasi perpajakan dan juga upaya meningkatkan penerimaan negara justru sebaliknya,” ucapnya.
Bayu menjelaskan volume produksi rokok perusahaan yang terkena dampak simplifikasi (golongan II layer 1 dan 2) akan mengalami penurunan produksi bahkan penutupan pabrik.
“Adanya penurunan volume produksi bahkan penutupan pabrik menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK)," jelasnya.
Bayu juga mewanti-wanti dampak simplifikasi tarif cukai dari sisi tax avoidance dapat mengurangi peluang tax avoidance akan tetapi dapat memperbesar peluang tax evasion.
"Jika direalisasikan, kebijakan ini akan berpotensi merugikan bagi pendapatan pajak negara," katanya.
Menurutnya bagi perusahaan golongan II layer satu dan dua untuk mempertahankan margin keuntungan yang sama maka penyederhanaan karena tarif cukai lebih tinggi, sehingga harus menaikan volume produksinya dan penjualannya menjadi beberapa kali lipat dari sebelum simplifikasi diberlakukan.
“Maka demikian, sangat kontraproduktif dengan tujuan dipungut cukai yaitu pengendalian konsumsi rokok," tegasnya.
Bayu menyebut masalah lain yang berpotensi timbul akibat penyederhanaan tarif cukai yakni terbentuknya pasar rokok ilegal. Ketika konsumen beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai dan pajak lainnya.
"Preferensi konsumen akan beralih ke rokok lain yang lebih murah (rokok ilegal) yang justru akan merugikan negara," ucapnya.