REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan tak bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Padahal, revisi UU KUP semula ditargetkan selesai tahun ini agar akhir Oktober 2021 bisa diundangkan dan disahkan dalam rapat paripurna DPR.
"Jelas sekali penerapan RUU KUP ini, tidak bisa dilakukan saat ini juga atau dalam waktu pendek, tetapi harus mempertimbangkan perkembangan kondisi masyarakat dan dunia usaha," tutur Dito, dalam keterangan yang diterima, Rabu (30/6).
Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR ini menilai, pembahasan RUU KUP harus mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia. Ia mengatakan, saat ini masyarakat masih menghadapi pandemi Covid-19, di sisi lain, pemerintah diharapkan fokus pada penanganan masalah kesehatan dan berbagai program pemulihan ekonomi nasional.
Dito mengakui pemerintah dan DPR memang melanjutkan pembahasan perubahan kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP dalam panitia kerja. Ia menambahkan, Komisi XI juga mendukung perubahan skema tarif pajak dan cukai. Namun, bukan tahun ini. Dito mengatakan, baik DPR maupun pemerintah harus memikirkan secara matang waktu yang paling tepat untuk penerapan RUU KUP ini apabila telah disetujui dan ditetapkan.
“Untuk itu, pembahasan RUU KUP harus dilakukan secara cermat, objektif dan terukur oleh semua pihak,” ujarnya. Tujuan, sistem perpajakan yang sehat, adil dan berkesinambungan dapat tercapai dalam jangka menengah, namun tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat dan dunia usaha yang masih dalam situasi pandemi Covid-19.
Dito mengatakan, fraksi-fraksi di Komisi XI DPR akan mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU KUP kepada pemerintah. Selanjutnya, setelah masa reses pada 13 Juli-11 Agustus 2021, akan mulai melakukan pembahasan rapat dengar pendapat (RDP). Komisi XI akan mendengarkan masukan dari para pakar, akademisi, asosiasi, dan kelompok masyarakat sebagai bahan RUU KUP.
Hingga saat ini, diakui Dito, sistem perpajakan dinilai belum mampu mendukung sustainabilitas pembangunan dalam jangka menengah dan panjang. Menurutnya, hal tersebut bisa dilihat dari kondisi APBN beberapa tahun terakhir. Yakni, belanja meningkat sesuai perkembangan kebutuhan bernegara dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, namun penerimaan perpajakan belum cukup optimal untuk mendukung pendanaan negara.
Kondisi rasio pajak yang dinilai rendah di kisaran 10 persen ke bawah juga jadi indikasi ini. Sehingga menyebabkan defisit anggaran meningkat, terlebih dalam masa pandemi Covid-19, membutuhkan dana lebih untuk menangani masalah kesehatan dan program pemulihan ekonomi. Selain itu harus memenuhi ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2020 agar defisit APBN harus dikembalikan pada level di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).