REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12 persen untuk barang sembako dinilai dapat memukul usaha petani. Pemerintah diminta mengkaji kebijakan tersebut secara matang agar nantinya tidak membuat kerugian mendalam bagi usaha petani yang sedang tertekan akibat masa pandemi.
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nuruddin, mengatakan, kebijakan tersebut tentunya tidak akan langsung menyentuh petani sebagai produsen komoditas pangan. Sebab, pengenaan pajak akan menyasar lembaga atau entitas usaha resmi yang memiliki izin.
Namun, dampak tidak langsung bisa dirasakan karena pengusaha-pengusaha yang menjadi pembeli produk hasil petani akan menghitung ulang dan nantinya bisa memberikan dampak pada nilai harga komoditas. "Pengusaha pasti akan hitung harga penjualannya, ditambah dengan pajak, dan itu akan berdampak," kata Nuruddin kepada Republika.co.id, Kamis (10/9).
Lain halnya dengan koperasi, Nuruddin mengatakan, petani-petani yang saat ini memiliki koperasi dengan resmi tentu akan terkena dampak langsung dari adanya pengenaan pajak ketika bertransaksi dengan perusahaan penyerap.
Kondisi itu, menurutnya, tidak menutup kemungkinan membuat petani enggan berkoperasi atau bahkan berkorporasi seperti yang sedang didorong oleh pemerintah. "Petani akan jadi malas, mending individual, tapi kalau individual dia akan susah lagi. Memang soal ini kita sedang banyak diskusi seperti apa kebijakannya. Tapi yang jelas ini akan memukul petani," kata Nuruddin.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli, meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut. Sebab, petani sedang menghadapi masa sulit akibat situasi pandemi yang tak kunjung usai.
Lebih lanjut, ia mengingatkan petani juga semestinya tak hanya dipandang sebagai produsen, namun juga konsumen yang tentu akan menanggung beban lebih dari adanya kenaikan pajak untuk bahan pokok.