REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengumumkan sejumlah insentif pajak yang akan diperpanjang pada tahun ini. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 telah berlaku sejak 1 Februari 2021.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai saat ini insentif fiskal yang ada belum efektif karena memprioritaskan perusahaan besar dalam bentuk penurunan tarif pph badan, pembebasan PPh Final Pasal 22 Impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN sebagai PKP berisiko rendah bagi wajib pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi paling banyak Rp 5 miliar.
“Ditambah insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50 persen. Tapi efek berganda nya kecil karena perusahaan yang diberi insentif pajak belum tentu serap karyawan baru, atau bayar full gaji karyawan dan tunjangannya,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (15/4).
Menurutnya insentif pajak juga menyoal transparansi. Semestinya perusahaan dapat insentif itu diumumkan ke publik bagaimana dampak ke kinerja perusahaan dan output produksi yang dihasilkan.
“Jadi ada pengawasan publik. Kalau terus dilanjutkan model obral insentif pajak risikonya rasio pajak makin turun di bawah delapan persen, sedangkan negara sedang butuh dana belanja kesehatan dan perlindungan sosial,” ucapnya.
Menyoal kemampuan APBN, Bhima menyebut semakin melemah karena setiap pajak hilang karena insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Hal ini akan berimplikasi pada kenaikan beban utang pemerintah.
“Tahun ini saja 19 persen belanja pemerintah pusat habis untuk membayar bunga utang,” ucapnya.