REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menegaskan, rencana pembukaan impor beras demi antisipasi pemerintah terhadap krisis pangan di masa pandemi. Cadangan beras yang diimpor akan dijaga oleh Bulog agar tidak bocor ke pasar dan menjatuhkan harga beras petani.
"Sekarang, lebih baik punya persiapan atau tidak? Tapi kita juga ada prognosis sehingga tentu kita juga tidak akan gegabah (mengimpor)," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Syailendra kepada Republika.co.id, Selasa (9/3) malam.
Syailendra mengatakan, saat ini cadangan beras yang dimiliki Bulog sekitar 800 ribu ton atau di bawah instruksi pemerintah sebanyak 1-1,5 juta ton. Syailendera menjelaskan, sesuai standar FAO, negara harus memiliki cadangan pangan sebesar 6-7 persen dari total konsumsi.
Saat ini, total konsumsi beras nasional sebanyak 30 juta ton sehingga setidaknya harus menyediakan 1,8 juta ton. Namun, pemerintah menetapkan maksimal 1,5 juta ton melalui Bulog dengan menyerap hasil produksi petani.
Lebih lanjut, Syailendra mengatakan, negara produsen seberi Vietnam mulai menerbitkan larangan ekspor beras. Begitu pula dengan Thailand yang membatasi ekspor. Negara yang masih memungkinkan dari sisi produksi adalah Myanmar namun sulit lantara tengah menghadapi masalah dalam kudeta militer.
Baca juga : Normalisasi Sungai Lambat, Wagub DKI: Banyak Mafia Tanah
Oleh karena itu, menurutnya, situasi saat ini bukan hanya menjadi masalah Indonesia, namun juga menjadi persoalan global. "Dunia sedang berlomba menjaga dan mengamankan stok sebelum nanti tidak bisa (impor). Ini sudah ada warning," kata dia.
Syailendra pun mencontohkan seperti persoalan pada komoditas cabai. Ia mengatakn, 40 persen produksi mengalami penurunan akibat bencana alam sehingga terjadi lonjakan harga. Belajar dari kejadian seperti itu, pemerintah memandang harus memiliki persiapan dengan mempersiapkan stok cadangan.
"Tapi yakini bahwa pemerintah tidak gegabah untuk impor karena ada kewajiban untuk menyerap hasil petani. Tapi, juga menjaga dan antisipasi segala kemungkinan dengan situasi iklim dan pandemi yang sulit diprediksi," kata dia.
Soal Kementerian Pertanian yang memastikan produksi mencukupi, Syailendra mengatakan, memang diharapkan realisasi sesuai prediksi yang ada. Sebab, hasil panen yang dikejar juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat terhadap beras.
Oleh sebab itu, ia menilai tidak menjadi masalah jika opsi impor dibuka namun produksi beras dalam negeri mencukupi. Bagi pemerintah, kata Syailendra, persediaan beras harus cukup dan minimal ada stok 1,5 juta ton setiap bulan.
Baca juga : Saat Alquran Justru Bantah Pembacanya Kelak di Akhirat
"Coba kalau tiba-tiba beras tidak ada iklim tidak bisa diprediksi. Mau minta dari mana? Pasti masyarakat teriak lagi, masak negara tidak punya? Jadi lebih baik menjaga dari pada kita confidence tapi nanti kekurangan," kata dia.