Rabu 10 Feb 2021 18:08 WIB

Disparitas Harga Pupuk Subsidi dan Nonsubsidi Terlalu Tinggi

Harga pupuk urea bersubsidi saat ini sebesar Rp 2.250 per kg.

Rep: d/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja melakukan bongkar muat pupuk Urea bersubsidi. ilustrasi
Foto: Arif Firmansyah/Antara
Pekerja melakukan bongkar muat pupuk Urea bersubsidi. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Pertanian, Bustanul Arifin, mengatakan, disparitas harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi terlalu tinggi. Hal itu memicu terjadinya moral hazard yang akhirnya menimbulkan masalah dalam penyaluran pupuk subsidi kepada petani.

"Saya tidak menuduh, tapi potensi moral hazar masih besar karena adanya segmentasi (harga pupuk) seperti ini akan sulit," kata Bustanul dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (10/2).

Baca Juga

Untuk diketahui, harga pupuk urea bersubsidi saat ini sebesar Rp 2.250 per kilogram (kg) sedangkan nonsubsidi Rp 5.500-Rp 6.000 per kg. Pupuk ZA subsidi Rp 1.700 per kg dan nonsubsidi Rp 3.000-Rp 3.500 per kg. Kemudian untuk SP-36 Rp 2.000 per kg dan nonsubsidi Rp 6.000-Rp 6.500 per kg.

Adapun untuk NPK subsidi Rp 2.300 per kg dan nonsubsidi Rp 7.500-Rp 8.000 per kg sedangkan NPK Formula Khusus subsidi Rp 3.300 per kg dan nonsubsidi Rp 8.000-Rp 10.000 per kg. Terakhir, pupuk organik subsidi Rp 800 per kg dan nonsubsidi Rp 2.000-Rp 2.500 per kg.

"Terlalu jauh bedanya, sampai Rp 3.000 per kilogram," kata Bustanul.

Ia mengatakan, di tengah disparitas harga yang besar, ketergantungan petani terhadap pupuk murah telanjur besar. Sekalipun itu tidak baik untuk keberlanjutan tanah yang digunakan untuk budidaya.

Segementasi antara pupuk subsidi dan non subsidi juga tidak mudah. Hal itu, akan membuat banyak perilaku pemburu rente mudah dijumpai di lapangan.

Melihat banyaknya persoalan tersebut, Bustanul menyarankan agar pemerintah melakukan penyempurnaan dan verifikasi data sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) yang terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Sistem Penyuluhan Pertanian (Simluhtan).

Selain itu, mekanisme khusus untuk Himbara penerbit karu tani, agar mampu menjadikannya sebagai produk perbankan yang menghasilkan penerimaan. Itu secara langsung akan mendorong gairah perbankan dalam menyukseskan program Kartu Tani yang digunakan dalam penyaluran pupuk subsidi.

"Juga perlu ada peningkatan kapasitas penyuluh pertanian untuk mendukung e-RDKK dan pendmapingan Kartu Tani," kata dia.

Tugas yang paling penting bagi penyuluh, menurut Bustanul, adalah mengubah perilaku petani yang saat ini semakin ketergantungan pupuk kimia. "Pupuk organik dan hayati harus didorong untuk menyehatkan tanah," kata dia.

Sementara untuk industri pupuk, harus mulai diarahkan dalam pengembangan pupuk organik bila perlu mulai mengembangkan usaha berbasis jasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement