Jumat 22 Jan 2021 15:52 WIB

Tata Niaga Daging Sapi Nasional Wajib Segera Dibenahi

Panjangnya rantai distribusi menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pedagang berjualan daging sapi di Los Daging Pasar Ciroyom, Bandung, Jawa Barat, Jumat (22/1/2021). Harga daging sapi yang mulai naik menjadi Rp. 120 ribu hingga Rp. 130 ribu perkilogramnya membuat sebagian pedagang di Pasar Ciroyom tersebut memilih untuk mogok dan sebagian tetap berjualan meski sepi peminat.
Foto:

Selain itu, yang paling terdampak akibat kenaikan ini juga para pengusaha yang menjual makanan berbahan daging sapi. "Mereka dihadapkan pada pilihan, misalnya menghilangkan menu daging sapi, mengurangi porsi atau bahkan menambah harga jual. Di sinilah seharusnya pemerintah bisa menilai efektivitas kebijakan yang sudah diterapkan pada daging sapi," kata dia.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 memang menimbulkan disrupsi pada sektor pertanian di seluruh dunia. Implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial memengaruhi kinerja sektor pertanian di hampir semua negara.

Penurunan kapasitas produksi dan pengolahan menyebabkan suplai berkurang. Kali ini, kenaikan harga daging sapi terjadi karena harga sapi dari Australia juga sudah menanjak sejak akhir 2020 ditambah dengan tingginya biaya distribusi akibat penurunan kapasitas logistik selama pandemi Covid-19.

Felippa berpendapat impor sapi merupakan langkah yang strategis untuk dilakukan, mempertimbangkan adanya siklus tahunan kenaikan permintaan jelang Ramadan dan juga Hari Raya Idul Fitri. Produksi daging sapi domestik hanya dapat memenuhi sekitar 70 persen dari permintaan. Industri daging domestik masih belum mampu bersaing dengan industri daging luar negeri. Kita sudah melihat bahwa harga tinggi merugikan bukan hanya konsumen tetapi juga pedagang.

“Jadi kami memandang impor sebagai langkah yang tepat untuk mengatasi kesenjangan. Namun perlu dicatat, impor juga merupakan kebijakan yang akan efektif kalau diikuti adanya data yang akurat dan perkiraan waktu yang tepat dalam eksekusinya. Kami juga mendukung impor yang dilakukan secara transparan. Sistem kuota sudah terbukti rawan pelanggaran dan hal ini perlu dievaluasi oleh pemerintah,” tegasnya.

Ia melanjutkan, ketahanan pangan dapat tercapai jika makanan bukan hanya tersedia, namun juga terjangkau, melalui produksi domestik maupun impor.

Produksi domestik dan impor dapat dilihat sebagai komplementer. Pemerintah, kata dia, perlu melihat pada permasalahan utama di masing-masing komoditas dan melakukan perbaikan, baik itu di sisi hulu, hilir maupun di tata niaganya.

Felippa menuturkan, sesuai Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah memprioritaskan dan meningkatkan produksi dalam negeri dan petani sebagai sumber pemenuhan pangan.

Hal itu perlu ditunjukkan dengan keseriusan untuk membenahi produktivitas pangan kita, memodernisasi pertanian, memberikan peningkatan kapasitas kepada para pekerja di sektor pertanian dan membuka diri untuk investasi.

 

"Selain itu, sistem impor juga perlu dibenahi. Selama ini implementasi langkah-langkah proteksionis seperti menerapkan berbagai hambatan untuk impor terbukti tidak efektif juga mengangkat produksi dalam negeri dan malah menambah biaya ke impor yang diteruskan ke konsumen," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement