REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melanjutkan sejumlah program stimulus untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada tahun ini. Hal ini mengingat pandemi Covid-19 telah berdampak beberapa potensi risiko, baik dari sisi risiko likuiditas berupa aliran dana keluar, risiko kredit berupa debitur yang default akibat penurunan aktivitas usahanya, serta tekanan profitabilitas baik pada perusahaan maupun debitur.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan otoritas telah mengeluarkan forward looking and countercyclical policies yang ditujukan untuk mengurangi volatilitas pasar dan outflow non-residen, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Pemerintah dan Bank Indonesia juga turut membantu melalui stimulus fiskal dan kebijakan moneter yang akomodatif.
"OJK bersama pemerintah dan Bank Indonesia telah memberikan ruang bagi sektor riil untuk bertahan dalam menghadapi dampak pelemahan ekonomi khususnya dalam memitigasi risiko gagal bayar debitur (default) dan risiko likuiditas di pasar keuangan," ujarnya akhir pekan ini.
Menurutnya berbagai kebijakan tersebut, perekonomian domestik secara bertahap terus membaik didorong oleh percepatan realisasi stimulus fiskal dan perbaikan ekspor, serta kebijakan restrukturisasi kredit untuk meringankan beban masyarakat, pelaku sektor informal, dan UMKM serta pelaku usaha lainnya.
“Kebijakan-kebijakan tersebut sangat efektif, sehingga perekonomian domestik secara bertahap terus membaik. Selain itu, stabilitas sistem keuangan sampai saat ini masih terjaga dengan baik,” ucapnya.
Dari industri pasar modal, kebijakan pengendalian volatilitas yang dikeluarkan OJK sejak awal pandemi serta tindakan tegas pengawasan OJK telah meningkatkan kepercayaan investor yang tercermin dengan membaiknya IHSG di atas 6.000 pada awal 2021 setelah sebelumnya terpuruk posisi terendah 3.937,6 pada 24 Maret 2020.
"OJK juga fokus untuk meningkatkan integrasi pasar dengan serangkaian kebijakan dan langkah-langkah pengawasan yang lebih tegas. Dengan integritas pasar yang lebih baik, aktivitas penghimpunan dana melalui penawaran umum relatif besar yaitu sebesar Rp 118,7 triliun dengan 53 emiten baru. Pertumbuhan emiten baru ini merupakan yang tertinggi di ASEAN," ucapnya.
Dari sektor perbankan, kebijakan restrukturisasi kredit hingga akhir Desember telah mencapai Rp 971 triliun (18 persen dari total kredit) yang diberikan kepada 7,6 juta debitur UKM dan korporasi.
"Kebijakan ini menghasilkan profil risiko perbankan yang terkendali dengan rasio NPL gross pada level 3,06 persen (2019: 2,53 persen) atau net 0,98 persen (2019: 1,19 persen) dan didukung oleh permodalan yang cukup tinggi, yaitu CAR sebesar 23,78 persen (2019: 23,31 persen),” ungkapnya.
Sejalan hal itu, likuiditas perbankan masih cukup memadai (ample) ditandai oleh alat likuid perbankan yang terus meningkat mencapai sebesar Rp 2.111 triliun dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 1.251 triliun, dan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 11,11 persen yoy. Alat likuid per non-core deposit 146,72 persen dan liquidity coverage ratio 262,78 persen, lebih tinggi dari threshold-nya.
Sedangkan kebijakan restrukturisasi kredit perusahaan pembiayaan sebesar Rp 189,96 triliun (48,52 persen dari total pembiayaan) dari lima juta kontrak. Hal ini telah menjaga profil risiko perusahaan pembiayaan dengan NPF yang masih terkendali sebesar 4,5 persen.
"Profil risiko IKNB masih terjaga dalam level yang terkendali terlihat dari Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 540 persen dan 354 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen. Begitupun Gearing Ratio Perusahaan Pembiayaan sebesar 2,19 persen, jauh di bawah maksimum 10 persen,” ucapnya.