Kamis 14 Jan 2021 17:18 WIB

IDEAS: Pelaku Usaha Ultra Mikro Beroperasi 11 Jam per Hari

Survey dilakukan mulai Juli 2020 dengan 200 responden pelaku usaha sektor perdagangan

Survey Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan demi bertahan hidup saat pandemi pelaku usaha ultra mikro bekerja dengan jam kerja yang panjang, jauh diatas jam kerja normal.
Foto: istimewa
Survey Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan demi bertahan hidup saat pandemi pelaku usaha ultra mikro bekerja dengan jam kerja yang panjang, jauh diatas jam kerja normal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Survey Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan demi bertahan hidup saat pandemi pelaku usaha ultra mikro bekerja dengan jam kerja yang panjang, jauh diatas jam kerja normal.

“Untuk menyambung hidup saat pandemi pelaku usaha ultra mikro harus  beroperasi dengan jam kerja rata-rata 11,67 jam per hari, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan sebelum pandemi yang rata-rata 12,07 jam per hari,” kata Yusuf Wibisono Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (14/1).

Survey terkait dampak pandemi terhadap usaha ekonomi mikro yang dilakukan di wilayah Jabodetabek tersebut dimulai pada bulan Juli 2020 dengan 200 responden pelaku usaha di sektor perdagangan dengan kriteria usaha tanpa pegawai, tanpa lokasi usaha, tanpa kendaraan bermotor, dan bukan merupakan distributor usaha besar.

Tidak hanya jam kerja yang panjang, Survei ini juga menemukan fakta bahwa pelaku usaha ultra mikro juga harus bekerja nyaris setiap hari. Pandemi tidak banyak berpengaruh pada hari kerja usaha ultra mikro, yang hanya sedikit menurun dari rata-rata 6,65 hari per pekan menjadi rata-rata 6,28 hari per pekan.

“Untuk bertahan hidup, kelompok ekonomi lemah ini tidak pernah memiliki kemewahan untuk tidak bekerja, bahkan ketika pandemi melanda,” ucap Yusuf.

Yusuf Wibisono menambahkan terpukulnya pelaku usaha ultra mikro, membuat sebagian besar dari mereka mengalami disrupsi usaha, jatuhnya omset dan penerimaan, krisis likuiditas, hingga penutupan usaha secara permanen.

“Dari 63,4 juta usaha mikro ini, sekitar 48 juta diantaranya diperkirakan adalah usaha ultra mikro, pelaku ekonomi terkecil yang selama ini tidak pernah bisa mengakses kredit mikro perbankan sekalipun karena ketiadaan agunan,” katanya.

Dari survei tersebut tergambar bahwa tingkat kesejahteraan keluarga usaha ultra mikro kota sangat rendah. Sebagian besar responden (81,5 persen) tinggal di rumah kontrakan, dan 58,0 persen diantaranya memiliki utang.

“Sangat ironis, kerentanan hidup keluarga miskin kota ini bisa luput dari bantuan pemerintah, Sebesar 47,5 persen responden mengaku sama sekali tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah,”ujar Yusuf menambahkan.

Kondisi ekonomi pelaku usaha ultra mikro di masa pandemi ini diperburuk dengan jatuhnya secara drastis permintaan pasar dan hilangnya pelanggan. Meski beroperasi dengan jam kerja yang panjang mereka mengalami kejatuhan omset hingga 40 persen.  “Bila sebelum pandemi hanya 24,5 persen responden yang keuntungan harian-nya dibawah Rp 100 ribu, maka di masa pandemi angka ini melonjak menjadi 77,1 persen responden. Temuan-temuan ini menunjukkan betapa keras pandemi menghantam usaha ultra mikro,” tutur Yusuf.

IDEAS juga menemukan data bahwa hambatan terbesar dari responden usaha ultra mikro perkotaan sebelum berturut-turut adalah tidak memiliki lokasi usaha (60,5 persen), produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli (16,0 persen) dan tidak adanya tambahan modal (10,5 persen). 

Selama pandemi, hambatan terbesar responden bergeser berturut-turut menjadi produk yang sering tidak laku dan minimnya pembeli (45,5 persen), tidak memiliki lokasi usaha (36,0 persen), razia atau penertiban (8,0 persen) dan larangan berdagang (6,0 persen). Di masa pandemi, seluruh hambatan usaha terfokus pada jatuhnya permintaan pasar dan hilangnya pelanggan.“Pemerintah harus memfokuskan intervensi pada dukungan pemasaran yang memberikan hasil secara cepat bagi usaha ultra mikro. Klastering digital untuk usaha ultra mikro misalnya, dapat meningkatkan jangkauan usaha ultra mikro ke konsumen,” tutur Yusuf.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement