REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah kedelai impor kembali mencuat setelah para pengrajin tahu dan tempe melakukan aksi mogok produksi lantaran harga bahan baku yang melambung tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) berjanji akan meningkatkan produksi lokal. Namun, petani menilai, harga jual kedelai lokal amat rendah dan sulit untuk mencari pasar.
Salah seorang petani kedelai di Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Tata Marongge bercerita kepada Republika.co.id soal prospek usaha kedelai lokal. Ia menuturkan, kedelai menjadi salah satu komoditas yang ia tanam di musim kemarau.
Setiap tahunnya, maksimal penanaman hanya dilakukan sekali untuk luasan tanam berkisar 1 hingga 3 hektare. Menurut Tata, kadangkala hasil dari panen kedelai hanya mampu memberikan balik modal tanpa keuntungan. Itu lantaran harga yang sangat murah sementara biaya produksi yang tinggi.
"Harga jual kedelai sangat murah kalah dengan komoditas lain. Paling banter, bandar yang membeli itu sekitar Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kilogram," kata Tata kepada Republika.co.id, Selasa (5/1).
Adapun produksi maksimal yang diperoleh dalam 1 hektare sebesar 1,4 ton. Dengan kalkulasi harga jual tersebut, rata-rata pendapatan hanya Rp 7 juta - Rp 8,4 juta untuk satu hektare. Itu merupakan pendapatan maksimal jika hasil panen tidak ada gangguan.
Namun, Tata menuturkan, modal yang dikeluarkan dari kebutuhan sarana prasarana hingga biaya buruh bisa mencapai 7,8 juta. Itu sebabnya, usaha kedelai tak menarik bagi petani. "Itu kelemahan kedelai yang sudah saya alami sendiri. Bahkan hampir setiap musim tanam," ujarnya.
Kendati demikian, sebagai petani dirinya tetap berupaya untuk menanam kedelai. Alasannya sederhana, Tata menilai dalam berusaha tentu ada untung dan rugi dan menjadi petani tidak boleh mudah menyerah. Selain itu, ia mengaku pemerintah memiliki program bahwa seluruh kedelai lokal yang diproduksi petani setiap tahun harus terserap.
"Sebetulnya ada kedelai lokal yang dihargai sampai Rp 8.000 ke atas, cuma belum ketemu saja kemana harus menjualnya. Sebab saya hanya melalui tengkulak," ujarnya.
Selain dari segi harga, ia mengaku pengrajin tahu dan tempe juga sering membeda-bedakan antara kedelai lokal dan impor. Menurut dia, produsen tahu tempe menilai kedelai dari besaran bulir serta kandungan ampas kedelai yang bisa diperoleh. Dua patokan itu, menurut Tata, kedelai impor lebih unggul. "Kita kalah dengan kedelai impor," ujarnya.
BACA JUGA: Ternyata, Masih Banyak Warga di Kota Surabaya Tinggal di Kolong Jalan Tol