REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta masyarakat mewaspadai fintech lending ilegal. Hal ini untuk menjaga publik agar tak tertipu terhadap inovasi bidang keuangan ini.
Berdasarkan keterangan resmi OJK, Senin (7/12), OJK mengumumkan tujuh ciri fintech lending ilegal antara lain, pertama tidak memiliki legalitas. Artinya tidak terdaftar atau tidak memiliki izin resmi dari OJK.
Kedua, mengenakan bunga, denda, dan biaya yang sangat tinggi. Biasanya, fintech lending ilegal cenderung tidak jelas dalam perjanjian. Ketiga proses penagihan yang tidak beretika, bahkan kasar dan mengancam, biasanya dilakukan oleh penagih yang tidak bersertifikat penagihan.
Kempat, akses data pribadi yang berlebihan. Fintech lending ilegal akan mengakses data konsumen tidak hanya melalui kamera, mikrofon, dan lokasi sebagaimana ketentuan OJK. Kelima, fintech lending ilegal tidak memiliki layanan pengaduan. OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) tidak menangani pengaduan konsumen yang tertipu, namun konsumen dapat langsung menuju polisi atau Satgas Waspada Investasi (SWI).
Keenam, lokasi kantor tidak diketahui. Tak sedikit yang dioperasikan dari luar negeri, sehingga tak mudah diselesaikan jika terjadi kasus. Terakhir, fintech lending ilegal seringkali menggunakan modus SMS (Short Message Service) spam untuk menawarkan produk. Hal ini jelas berbeda dengan yang legal, yang dilarang memanfaatkan sarana komunikasi pribadi tanpa izin.
OJK mengingatkan, konsumen dapat mengecek daftar fintech lending yang terdaftar atau berizin melalui situs resmi OJK, kontak 157, atau WhatsApp ke 081 157 157 157. Selain itu, konsumen diminta untuk mewaspadai upaya tipu fintech lending ilegal yang kerap menggunakan nama atau logo menyerupai fintech lending legal.
“Konsumen juga diharapkan meminjam sesuai kebutuhan dan kemampuan, serta sungguh-sungguh memahami isi perjanjian cicilan, waktu pembayaran, bunga, denda, dan risikonya.”