REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) memproyeksikan tren harga minyak dunia dalam dua tahun ke depan diperkirakan akan tetap rendah di bawah 60 dolar AS per barel. Situasi itu dinilai akan menjadi tantangan berat bagi operasional kilang-kilang milik Pertamina.
Senior Vice President Pertamina Daniel Purba menyampaikan, rendahnya harga minyak karena bertepatan dengan situasi pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Ia mengatakan, lantaran harga minyak yang rendah, perkiraan crack spread juga akan rendah dan menjadi tantangan bagi kilang Pertamina.
Cracks spread merupakan selisih antara harga minyak mentah dan harga produk minyak yang siap digunakan. Rendahnya crack spread otomatis akan menekan margin yang bisa diperoleh dari penjualan produk bahan bakar minyak.
"Oleh karena itu, kilang-kilang Pertamina perlu mengupayakan optimalisasi margin dan jenis produk," kata Daniel dalam webinar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Senin (30/11).
Ia mengatakan, optimalisasi margin antara lain dengan mengendalikan tingkat produksi kilang untuk mitigasi akses produk kilang. Selain itu, kilang beroperasi dengan mode gasoline guna mengurangi impor gasoline sekaligus mengurangi produksi gasoil dan avtur.
Terakhir yakni dengan menurunkan level stok minyak mentah domestik dengan menyerap atau ekspor serta memilih minyak mentah impor dan domestik yang dapat mengoptimalisasikan margin dengan teknologi yang efektif.
Daniel mengatakan, upaya-upaya optimalisasi margin tujuan agar Pertamina dalam situasi yang berat tetap dapat menjaga ketahanan energi nasional. Perlu ada operasional yang unggul pada situasi berat hingga dua tahun ke depan.
Oleh karena itu, Pertamina pun berharap adanya penemuan dan uji coba vaksin dapat menjadi pemantik bagi ekonomi agar kembali menggeliat. Hal itu pun sudah mulai terlihat dari bebagai indikator keyakinan konsumen dan kinerja industri yang mulai menunjukkan perbaikan.