REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang telah ditandatangani beberapa waktu yang lalu harus dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia.
Kawasan RCEP yang semakin terbuka dan memfasilitasi berkembangnya sistem perdagangan yang memanfaatkan Regional Value Chains (RVC) atau rantai nilai regional dari RCEP adalah peluang dan kesempatan yang sangat baik bagi Indonesia untuk mendorong pengembangan industri manufakturnya di masa pemulihan ekonomi nasional serta di masa dan pasca pandemi Covid-19.
Kemampuan memasuki RVC RCEP akan membuka kesempatan lebih besar bagi Indonesia untuk terhubung dengan Global Value Chains (GVC) atau rantai nilai global. Dalam hal ini, kata kunci bagi Indonesia adalah mendorong masuknya investasi, baik dari luar maupun dari dalam negeri ke sektor manufaktur yang dirancang memanfaatkan kawasan RCEP.
Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Donna Gultom mengatakan, RCEP memang memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan, namun pada saat yang bersamaan meningkatkan defisit perdagangan Indonesia dengan negara anggota RCEP lainnya.
Untuk itu, dalam memanfaatkan RVC kawasan RCEP, Indonesia perlu menyiapkan strategi berupa penyesuaian kebijakan yang dapat menggalakkan berkembangnya industri manufaktur yang tidak hanya memasok kebutuhan pasar dalam negeri Indonesia tetapi lebih luas lagi yaitu pasar negara-negara anggota RCEP dan non RCEP.
"Fakta bahwa sebanyak 6.050 pos tarif (barang dagang) Indonesia memiliki keterkaitan kuat dalam hal ekspor dan impor dari dan ke kawasan RCEP, merupakan kekuatan penting untuk Indonesia melangkah lebih maju lagi dalam memanfaatkan RVC kawasan," katanya dalam Siaran Pers CIPS, Kamis (26/11).
Ia mengatakan, berbagai kajian telah dilakukan untuk memperkirakan dampak RCEP bagi Indonesia. Pada 2016, saat RCEP masih dalam proses perundingan, kajian yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan mengindikasikan bahwa meski RCEP mampu meningkatkan kesejahteraan Indonesia sebesar 1,52 miliar, namun konsekuensinya adalah terjadinya peningkatan defisit perdagangan sebesar 491,46 juta dolar AS.
Lebih lanjut, kajian yang dilakukan pada tahun 2019 oleh Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa dampak RCEP bagi perekonomian Indonesia tidak terlalu signifikan, yakni 0,05 persen.
Namun, bila Indonesia tidak bergabung, dampaknya juga tidak baik karena justru akan mendorong pertumbuhan negatif 0,07 persen bagi pertumbuhan ekonom Indonesia.
Donna mengatakan, tantangannya adalah bagaimana negara-negara ASEAN mampu membangun produsen dan eksportir yang efisien yang dapat mengimbangi efisiensi yang dimiliki oleh China.
Kajian terbaru yang dilakukan oleh Peneliti CIPS Ira Aprilianti, menunjukkan bahwa RCEP mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,67 persen serta berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia sebesar 7,2 persen yang dihasilkan dari spill-over effect dari free trade agreement (FTA) yang dimiliki anggota RCEP dengan Negara non-RCEP.
Kajian ini juga menunjukkan bahwa dalam 5 (lima) tahun setelah implementasi, akan terjadi peningkatan investasi sebesar 18 – 22 persen serta peningkatan ekspor bisa mencapai 8-11 persen melalui perluasan peran Indonesia dalam global supply chain.
Donna lebih lanjut menyampaikan pandangannya tentang perlunya Indonesia mempersiapkan kebijakan yang mendorong masuknya investasi ke sektor industri yang berorientasi intermediate products.
Hal ini akan mendorong Indonesia terhubung ke regional supply chain RCEP, bahkan ke global value chain. Dengan demikian, meski industri yang tumbuh mengakibatkan meningkatnya impor, namun dapat dipastikan bahwa kinerja ekspor Indonesia juga akan meningkat, dan kekhawatiran akan meningkatnya defisit perdagangan tidak terjadi karena intermediate products yang dihasilkan pasti akan diekspor.
"Dalam hal ini, kontribusi tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan dalam kerangka RCEP akan bersumber dari peningkatan nilai tambah," ujarnya.