REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, perlambatan pertumbuhan kredit pada September 2020 disebabkan dua sektor ekonomi. Pertama, sektor perdagangan besar dan eceran.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, kontraksi ini terutama terjadi pada perdagangan besar dalam negeri, minyak kelapa sawit, bahan bakar, bahan konstruksi, dan logam dan bijih logam.
“Porsi kredit sektor perdagangan dan eceran sebesar 17,01 persen terhadap total kredit. Pertumbuhan kredit sektor tersebut tercatat minus 6,13 persen pada September dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (25/11).
Kedua, menurutnya, sektor industri pengolahan karena sektor ini memiliki porsi 16,57 persen terhadap total kredit pada September 2020. Namun, pertumbuhan kredit sektor industri pengolahan terkontraksi 0,13 persen secara tahunan.
“Hal ini khususnya terjadi subsektor industri rokok, industri pengilangan minyak bumi, industri pupuk, dan industri semen,” ucapnya.
Dari sisi lain, kredit sektor pertanian dan perikanan naik pada September 2020. Menurut Wimboh, kedua sektor itu menjadi motor penggerak ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
"Indonesia tetap ada sektor andalan, pertanian dan perikanan. Ini yang bisa digenjot," ucapnya.
Wimboh menyatakan, secara keseluruhan pertumbuhan kredit pada September 2020 hanya 0,12 persen. Realisasinya turun signifikan jika dibandingkan penyaluran kredit yang masih tumbuh pada Maret 2020 atau sebelum pandemi Covid-19 sebesar 7,95 persen.
Jika diperinci, penurunan kredit terlihat bank asing sebesar 5,24 persen dari Rp 233,9 triliun menjadi Rp 230,9 triliun. Lalu, kredit bank umum swasta nasional (BUSN) juga turun 2,61 persen dari Rp 2.406,3 triliun menjadi Rp 2.399,7 triliun.
Kemudian kredit bank persero masih tumbuh 2,54 persen menjadi Rp 2.422,9 triliun dan Bank Perkreditan Daerah (BPD) naik 5,2 persen menjadi Rp 477,1 triliun.