Senin 09 Nov 2020 04:52 WIB

Lira Capai Titik Terendah, Turki Hadapi Risiko Ekonomi

Lira Turki merosot sebanyak 1,7 persen ke rekor terendah 8,56 versus dolar AS

Rep: Arabnews/ Red: Elba Damhuri
Mata uang Turki, lira (ilustrasi)
Mata uang Turki, lira (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Ekonomi Turki masih menghadapi tantangan serius terkait dengan pelemahan mata uang lira. Turki belum melakukan pengetatan kebijakan yang cukup untuk mendukung lira, yang jatuh ke rekor terendah lainnya pada Jumat. Sementara cadangan valas negara dan pembiayaan eksternal tetap berpotensi menjadi titik lemah, menurut analis utama Fitch Ratings.

Douglas Winslow, analis utama Turki dari Fitch, mengatakan tekanan lebih lanjut dari lira, inflasi dua digit dan cadangan valas yang terkuras "akan secara signifikan meningkatkan peluang" kenaikan suku bunga formal pada akhir tahun.

Baca Juga

Lira merosot sebanyak 1,7 persen ke rekor terendah 8,56 versus dolar AS, meskipun greenback melemah.

Hubungan bilateral Turki bisa terganggu jika Demokrat Joe Biden menjadi presiden AS, menambah lebih banyak tekanan pada lira yang telah turun sekitar 30 persen tahun ini dan hampir 10 persen dalam dua minggu terakhir saja.

Bank sentral Turki menaikkan suku bunga menjadi 10,25 persen pada September dan dapat mengetatkan lagi untuk mencegah depresiasi dan mengatasi inflasi yang tertahan di sekitar 12 persen.

Namun pengetatan kredit dalam beberapa bulan terakhir "tidak cukup untuk membalikkan tren penurunan lira dan (pada tingkat tertentu) dalam cadangan devisa," kata Winslow, direktur tim pemerintah Fitch, dalam email.

Turki dinilai kurang bagus oleh tiga lembaga berdaulat besar. Meskipun peringkat BB- Fitch adalah yang tertinggi, Fitch merevisi prospek menjadi "negatif" dari "stabil" pada bulan Agustus dengan alasan menipisnya cadangan Valas dan kredibilitas kebijakan moneter yang lemah.

Winslow mengatakan bank sentral memiliki "kebebasan terbatas" dari tekanan politik untuk suku bunga yang lebih rendah dan "rekam jejak lambat dalam menanggapi peristiwa," meningkatkan risiko bahwa kebijakan yang terlalu longgar memicu ketidakseimbangan eksternal dan ketidakstabilan pasar.

sumber : Arabnews
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement