REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Donny Pasaribu mengatakan, investasi pertanian di Indonesia masih cenderung tertutup. Hal itu disebabkan oleh ketertutupan peraturan yang ada di bidang pertanian.
Ia memaparkan, berdasarkan laporan Indonesia Investment Regulatory Restrictiveness Index 2019 dari OECD, sektor pertanian cukup tinggi dan diatas rata-rata ketertutupan peraturan secara nasional.
Lebih detail pada sektor pertanian, angka ketertutupan peraturan meningkat dari posisi 0,294 pada 1997 menjadi 0,364 tahun 2018. Hal itu salah satunya berkaitan erat dengan ketertutupan peraturan terhadap investasi asing di sektor hortikultura.
Menurut dia, pembatasan investasi yang terlalu ketat mampu memperburuk industri hortikultura dalam negeri. Sebab, dengan adanya ketertutupan akan investasi asing akan memberikan proses pembelajaran bagi industri hortikultura dalam negeri.
"Kalau kita batasi investasi asing maka juga akan membatasi produsen seperti produsen bibit domestik untuk belajar dari perusahaan asing untuk berinovasi," kata Donny dalam webinar Center for Indonesia Policy Studies, Selasa (3/11).
Ia melanjutkan, laporan dari Bank Dunia dan penelitian juga mengungkapkan bahwa jika semakin tertutup dari investasi asing di sektor hortikultura yg terjadi, produsen domestik akan kehilangan akses bibit berkualitas. "Pembatasan investasi asing itu adalah ide yang buruk dan bisa memperparah produktivitas kita," kata dia.
Ia menjelaskan, sekitar 60 persen kebutuhan bibit hortikultura dunia dikuasai oleh tiga perusahaan multinasional. Dengan kata lain, jika Indonesia terus tertutup terhadap investasi asing di sektor hortikultura, produsen dalam negeri bakal mengalami ketertinggalan. Selain itu, yang dikhawatirkan perusahaan asing bakal memindahkan investasi dari Indonesia ke negara lain.
Pasca terbitnya UU Omnibus Law, ia mengatakan perlu ada optimisme terhadap sektor pertanian. Namun, harus tetap hati-hati. Pasalnya sejumlah aturan turunan yang berkaitan dengan beleid itu belum diterbitkan.
Selain itu, Omnibus Law yang cenderung memusatkan kebijakan di pemerintah pusat akan memiliki potensi yang lebih besar untuk berubah. Sebab, seluruhnya akan tergantung dari karakteristik presiden yang akan memimpin ke depan.