REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menemukan bahwa 50 persen dari penerima alokasi subsidi listrik sebenarnya adalah warga mampu. TNP2K menilai perlu adanya reformasi subsidi listrik.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto mengatakan pemerintah bukan antipati atas skema subsidi. Namun ternyata subsidi yang cukup menguras anggaran ini malah tidak tepat sasaran.
"Sebetulnya alasannya kenapa kita lakukan reformasi subsidi listrik sebab 50 persen dinikmati oleh mereka yang mampu. Jadi walaupun anggaran besar, tidak tetap sasaran. Pemerintah tuh nggak anti subsidi, asal diterima dengan tepat sasaran," ujar Bambang dalam diskusi virtual, Selasa (3/11).
Ia pun menilai bahwa skema subsidi yang tepat kedepan adalah dengan bantuan langsung tunai. Ia pun menilai penertiban subsidi ini juga bisa membantu kondisi PLN dan negara agar tak menjadi beban keuangan.
"Jadi yang idelanya lepas ke harga pasar, beri bantuan ke orang miskin sementara. Setelah itu dapat keseimbangan baru," ujar Bambang.
Menurut data TNP2K, ternyata pelanggan 900 VA yang selama ini layak mendapatkan subsidi hanya 4 juta orang. Sejak 2017 padahal APBN menganggarkan subsidi untuk 22 juta pelanggan.
"Data dari BPKS Kemensos hanya 4 juta orang yang sebenarnya berhak mendapatkan subsidi. Jadi, ini baiknya 18 juta orang dikeluarkan dari penerima subsidi dan bayar dengan harga keekonomian," ujar Bambang.
Ia pun mengatakan saat ini pemerintah sedang perlahan mengalihkan subsidi yang semula dalam bentuk barang, dalam hal ini potongan pembayaran listrik menjadi bantuan langsung tunai. Ia merasa langkah ini lebih efektif dan tepat sasaran.
"2024 tadinya taregtnya kurangi sebanyak mungkin subsidi listik dan pupuk. Kalau subsidi barang ini selalu ada risiko salah sasaran. Kalau bisa ubah subsidi ke bansos, maka tarifnya ini sesuai keekonomian," ujar Bambang.