REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional dinilai akan memberikan beberapa akses pasar baru bagi produk industri nasional. Maka pelaku industri di dalam negeri harus memanfaatkan peluang RCEP tersebut.
“Mari kita bersama-sama memahami seluk-beluk RCEP ini. Rencananya ditandatangani pada KTT RCEP di bulan November tahun ini,” kata Direktur Jenderal Ketahanan Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Dody Widodo pada webinar, Selasa (20/10).
Ia mengatakan, pelaku industri di Indonesia juga harus siap menghadapi berbagai tantangan dari implementasi RCEP. “Misalnya, potensi lonjakan impor, meningkatnya kompetisi atau persaingan dalam memperoleh pasar luar negeri baik dalam perdagangan barang dan jasa, maupun persaingan dalam menarik investasi,” tuturnya.
RCEP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selain itu, implementasi RCEP melibatkan enam negara mitra, yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India.
“Konsep RCEP merupakan inisiasi dari Indonesia pada saat Indonesia menjadi ketua ASEAN pada tahun 2011. Ini bertujuan mengintegrasikan kemitraan ASEAN dengan keenam negara mitra yang sudah terbentuk sebelumnya,” jelas Dody.
Perjanjian kerja sama yang sudah terbentuk tersebut, antara lain ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), ASEAN – Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA), dan ASEAN – India Free Trade Agreement (AIFTA). Menurutnya, RCEP akan menjadi salah satu perjanjian perdagangan bebas regional terbesar (mega FTA) di dunia.
Tanpa India, perjanjian ini mencakup 29,6 persen penduduk dunia, kemudian 30,2 persen produk domestik bruto dunia, sekitar 27,4 persen perdagangan dunia, dan 29,8 persen Foreign Direct Investment (FDI) dunia. “Sedangkan, jika India bergabung, maka perjanjian ini akan mencakup 47,5 persen penduduk dunia, sebesar 33,5 persen produk domestik bruto dunia, sekitar 29,5 persen perdagangan dunia, dan 33,7 persen FDI dunia,” ujar Dody.
Dirinya menilai, posisi Indonesia dalam penerapan RCEP dapat menjadi strategis. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, antara lain ekspor Indonesia ke RCEP pada 2019 mewakili 61,65 persen (95 miliar dolar AS) dari total ekspor Indonesia ke dunia. Selanjutnya, investasi dari RCEP pada 2019 mencapai 66,59 persen (19 miliar dolar AS) dari total FDI.
“Saat ini, yang perlu kita genjot yakni ekspor produk industri untuk meningkatkan performa perdagangan, sehingga tidak mengalami defisit neraca perdagangan. Dengan begitu, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Vietnam maupun Singapura,” kata dia.
Maka Kemenperin mengajak seluruh sektor industri di Tanah Air menjadikan tantangan pandemi saat ini sebagai momentum memulihkan ekonomi nasional. “Kita perlu meningkatkan kemandirian bahan mentah, bahan baku, dan proses produksi hingga pengemasan yang baik serta penguatan di bidang logistik, branding dan lainnya,” tutur Dody.
Di samping itu, sambungnya, Indonesia perlu melakukan pendalaman struktur industri dengan mengisi sektor yang belum ada atau ada tapi belum mumpuni dari sisi kualitas maupun kuantitas, serta keberlangsungan supply atas input yang dibutuhkan. “Kami juga terus mendorong pengoptimalan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), serta mengusulkan regulasi dan insentif sesuai kebutuhan para pelaku industri,” tegasnya.