Jumat 16 Oct 2020 07:37 WIB

Kepala BKPM: UU Ciptaker Tutup Perusahaan tak Taat Amdal

Izin perusahaan tak taat amdal bisa dicabut.

 Kepala BKPM: UU Ciptaker Tutup Perusahaan tak Taat Amdal. Foto: Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengikuti rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Rapat kerja tersebut membahas tentang laporan keuangan APBN Tahun Anggaran 2019 dan realisasi anggaran tahun 2020.
Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Kepala BKPM: UU Ciptaker Tutup Perusahaan tak Taat Amdal. Foto: Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengikuti rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Rapat kerja tersebut membahas tentang laporan keuangan APBN Tahun Anggaran 2019 dan realisasi anggaran tahun 2020.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan syarat bagi perusahaan besar dalam menjalankan produksinya. Apabila perusahaan besar tidak memiliki Amdal atau melanggarnya di kemudian hari, maka pemerintah berhak mencabut izin usahanya. 

Hal tersebut dinyatakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadiala dalam diskusi virtual bertema Dinamika RUU Menjadi UU Cipta Kerja pada Rabu (14/10).

Baca Juga

Bahlil mengatakan, aturan itu sangat revolusioner dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam mementingkan aspek lingkungan. Sebab, pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), menurut Bahlil, pemerintah tidak punya hak untuk mencabut izin usaha yang melanggar Amdal di kemudian hari. 

"Tidak ada risiko hukum secara kuat yang menyatakan Amdal, katakanlah usahanya ditutup. Belum ada (preseden) itu, yang ada diperbaiki terus. Maka dengan UU ini, Amdal dimasukkan sebagai izin usaha. Supaya kalau orang melanggar Amdal kita bisa peringatkan izinnya kami cabut," kata Bahlil.

 

Bahlil menerangkan, Amdal pada Undang-undang yang lama tidak termasuk dalam izin usaha. Pada Undang-undang Omnibus Law, lanjut dia, Amdal merupakan hal yang wajib dilampirkan ketika perusahaan besar mengajukan izin usaha. Keduanya saling melekat dan tidak terpisahkan. 

Menurut Bahlil, ada tiga klasifikasi usaha yang diatur dalam Undang-undang Omnibus Law, yaitu perusahaan kecil, menengah dan besar. 

Apabila perusahaan kecil, maka cukup mengajukan surat pernyataan. Sedangkan perusahaan menengah terdapat Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL-UPL). Sementara perusahaan besar harus mengajukan Amdal saat pertama kali mengajukan permohonan izin. 

Bahlil yang berlatar belakang pengusaha ini berpengalaman bahwa upaya untuk mengajukan Amdal sangat sulit dilakukan. Sebab ada upaya tarik-menarik kepentingan antara pusat, provinsi, kabupaten atau kota, kementerian serta pihak terkait. Mengurus Amdal sendiri bahkan bisa mencapai setahun lebih. Hal itu membuat daya saing Indonesia lambat, apabila dibandingkan dengan pabrik di Vietnam yang sudah berproduksi. 

Karena itu, lanjut dia, proses pengajuan Amdal pada UU Omnibus Law dipangkas, tetapi tetap mengutamakan asas lingkungan itu sendiri. "Amdalnya saja yang dipangkas, (prosesnya) tidak lama. Karena apa? Karena mengurus Amdal itu bisa 1 tahun 6 bulan. Pabrik di Vietnam sudah produksi, kita Amdalnya belum selesai," jelas dia. 

Di samping itu, lanjut Bahlil, semua perizinan juga terintegrasi lewat Online Single Submission (OSS). Dengan begitu, transparansi, efesiensi, serta memangkas birokrasi yang panjang. Dengan kata lain, praktik korupsi bisa dihilangkan karena pengusaha tidak bersinggungan dengan aparat atau birokrasi. 

"Semuanya clear and clean. Dan yang penting ialah dengan UU ini diwajibkan kepada seluruh investor baik dalam dan luar negeri yang masuk ke Indonesia wajib bergandengan dengan UMKM. Nah, itulah mengapa saya katakan UU ini pro-UMKM, di mana saya pengin mahasiswa kita, bisa menjadi pengusaha dengan kemudahan dengan UU ini," jelas dia. 

Bahlil juga mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia ditopang oleh UMKM yang jumlahnya mencapai 64 juta. Namun, Bahlil menyayangkan mayoritas UMKM bergerak di sektor informal sehingga menyebabkan kredit lending Indonesia keluar sekitar Rp 6 ribu triliun.

"Maka, kami formalkan agar bisa mendapatkan akses perkreditan. Di samping itu, pemerintah menyiapkan dana juga, dan ada kewajiban pemerintah untuk menyiapkan pasarnya, dibeli, atau ditalangi pemerintah, lalu kemudian lewat BUMN dicari market-nya keluar," kata  Bahlil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement