REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri farmasi ikut merasakan dampak pandemi Covid-19 seperti halnya sektor yang lain. Hal tersebut tercermin dari kinerja sejumlah perusahaan farmasi, termasuk holding BUMN farmasi yang mengalami penurunan signifikan pada tahun ini.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan kinerja mayoritas BUMN farmasi tertekan lantaran turunnya permintaan produksi obat-obatan dan farmasi. Hal ini juga disebabkan karena menurunnya tingkat keterisian rumah sakit oleh pasien noncovid-19.
"Selama pandemi, orang cenderung tidak pergi ke rumah sakit untuk menghindari penularan. Ketika keterisian rumah sakit menurun, otomatis permintaan terhadap produk farmasi juga berkurang, terutama dari pasien rawat inap," kata Abra saat dihubungi Republika.co.id, Senin (5/10).
Sebagai informasi, kinerja PT Phapros Tbk merosot sepanjang semester pertama tahun ini. Pendapatan anak usaha PT Kimia Farma Tbk ini turun 17,78 persen menjadi Rp 453,92 miliar per Semester I 2020.
Penurunan pendapatan tidak dapat diimbangi dengan upaya efisiensi tercermin dari beban pokok penjualan yang hanya menurun 18,44 persen menjadi Rp 208,58 miliar. Secara keseluruhan, laba Phapros menurun drastis hingga 45 persen menjadi Rp 26,87 miliar pada Semester I 2020.
Tekanan kinerja juga dihadapi oleh Kimia Farma. Laba periode berjalan perseroan pada semester pertama 2020 hanya naik tipis sebesar 1,7 persen. Sementara penjualan bersihnya juga naik tipis sebesar 3,76 persen.
Abra melihat, dengan mulai diproduksinya obat serta vaksin Covid-19, industri farmasi memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan memperoleh pendapatan yang signifikan ke depan. Namun hingga mencapai tahapan tersebut, masih ada berbagai proses yang harus dilalui hingga obat dan vaksin bisa didistribusikan ke masyarakat.
Di sisi lain, Abra menambahkan, industri farmasi masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya dalam hal pembiayaan. Untuk memenuhi kebutuhan 350 juta dosis vaksin, perusahaan farmasi harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Padahal belanja modal BUMN farmasi pada tahun ini sudah sangat tertekan.
"Sehingga sangat disangsikan juga mereka bisa memproduksi tanpa adanya dukungan dari APBN," tutur Abra.