REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom menilai, kenaikan rasio utang pemerintah ke level 40 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi tidak terelakkan. Khususnya di tengah kondisi abnormal karena pandemi Covid-19 saat ini. Hanya saja, tren tersebut berpotensi berdampak negatif ke fiskal Indonesia apabila tidak dikelola secara baik.
Peneliti ekonomi senior dari Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi menyebutkan, level 40 persen sebenarnya masih dapat dinilai aman untuk ekonomi Indonesia. Hal ini dengan melihat ambang batas 60 persen pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Tapi, Eric menekankan, pemerintah sudah harus siaga apabila rasio utang terus menunjukkan tren serupa. "Karena akselerasi pertumbuhan utangnya juga cepat," ucapnya, ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/10).
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan, rasio utang sampai dengan 2024 tidak akan kurang dari 40 persen terhadap PDB. Level tertinggi diperkirakan terjadi pada 2022, yaitu pada kisaran 41,52-42,65 persen yang secara bertahap turun hingga mencapai 40,78-41,31 persen terhadap PDB pada 2024.
Proyeksi itu tergambar dalam paparan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu pada Webinar Tax Challenges and Reforms to Finance the Covid-19 Recovery and Beyond, Kamis (1/10). Rentang rasio utang itu menjadi bagian dari kerangka kerja fiskal jangka menengah Indonesia.
Idealnya, Eric menambahkan, pemerintah dapat melakukan efisiensi belanja sebelum terlalu cepat menambah utang. Termasuk di antaranya terhadap anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih rendah penyerapannya. "Padahal, pemerintah terus menerbitkan SUN mengikuti strategi front loading," tuturnya.
Dalam strategi pengelolaan utang, pemerintah kini juga gencar menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel. Eric mengatakan, penerbitan ini bisa saja membantu pembiayaan APBN, namun dampaknya tidak sebesar pembelian SUN oleh investor institusional seperti perbankan, investor asing, dana pensiun, asuransi dan Bank Indonesia (BI).
Salah satu cara yang disebutkan Eric dapat mengurangi volatilitas di pasar SUN adalah kebijakan moneter bank sentral. Sebut saja burden sharing bersama pemerintah dan quantitative easing oleh BI.
Keterlibatan perbankan juga bisa ditingkatkan. Eric menuturkan, perbankan sudah agresif membeli SUN sejak tahun lalu. “Karena kredit perbankan tumbuh lambat, banyak bank menempatkan dana di SUN,” ujarnya.
Sementara itu, dalam konferensi pers virtual pada Kamis, Febrio menyebutkan, pertumbuhan rasio utang tidak terlepas dari pelebaran defisit APBN. Seperti diketahui, pada periode 2020 hingga 2022, pemerintah memutuskan menaikkan batasan defisit anggaran menjadi lebih dari tiga persen. Kebijakan ini diambil agar APBN dapat bergerak lebih fleksibel untuk mengantisipasi tekanan ekonomi.
Febrio menyebutkan, defisit anggaran tahun ini yang ditargetkan berada pada level 6,34 persen terhadap PDB memang sangat dalam. Dampaknya, rasio utang yang semula diproyeksikan berada pada level 30 persen, harus naik menjadi 37,60 persen. Sedangkan, tahun depan, rasio akan meningkat ke 41,09 persen dengan defisit anggaran 5,7 persen.
Tapi, Febrio mengatakan, rasio utang yang dimiliki Indonesia sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan kebanyakan negara. "Misal, pada 2019, ketika rasio utang kita hanya 30 persen, negara berkembang lain rata-rata sudah 50 persen ke atas," ujarnya.