REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-–Masuk dalam dunia digital adalah sebuah keniscayaan di era sekarang ini. Hampir semua aktivitas manusia sudah bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Besarnya jumlah menusia yang telah memanfaatkannya, menjadikan platform digital punya nilai ekonomi yang tinggi.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi pasar menggiurkan bagi monetisasi teknologi digital. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta, Indonesia telah menjadi ceruk ekonomi digital yang menjanjikan.
Kenyataan ini semakin menjadi saat pandemi Covid-19 melanda dunia sejak Maret lalu. Pemanfaatan teknologi daring semakin pesat dan naik secara signifikan. Peningkatan jumlah pengguna, justru telah menjadikan platform digital menjadi lebih relevan lagi di masa pandemi. Tidak terkecuali di Indonesia.
“Selain platform iklan, momen pandemi ini juga bisa menjadi peluang bagi bangsa ini untuk membangun sendiri platform chatroom atau conference room. Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh secara permanen, adalah peluang yang sangat bagus,” demikian kata Ketua Fraksi Partai NasDem, Ahmad Ali dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (29/9).
Menurut Ali, kebijakan ini bisa diiringi dengan pembangunan platform bersama milik bangsa. Murid-murid sekolah, para guru, orang tua murid, dan stakeholder pendidikan lainnya bisa diwajibkan untuk memanfaatkan platform tersebut.
“Jika ini bisa dijalankan maka dalam waktu cepat, platform tersebut bisa langsung besar dan potensi bisnisnya sangat terbuka. Negara, melalui badan usahanya, bisa mendapat keuntungan dari gagasan ini,” tambahnya.
Bagi Ali, pendidikan dalam hal ini menjadi entry point untuk membesarkan platform digital nasional. Selanjutnya, upaya ini bisa dikembangkan pada bidang-bidang lain yang memang diperlukan masyarakat dan menguntungkan.
Menurutnya, jika platform ini tersedia, anggaran pemerintah untuk memberikan kuota kepada murid sekolah dan mahasiswa tidak akan lari kemana-mana. Sepenuhnya akan menguatkan ekonomi nasional. “Jika semua ini bisa kita mulai dan dilaksanakan secara konsisten, dengan dukungan ekosistem yang baik maka wabah yang sekarang terjadi ini bisa berkah bagi kita,” tuturnya.
Ali menambahkan, dunia digital Tanah Air saat ini masih memberi ruang bebas kepada platform-platform luar untuk mengeruk sumberdaya ekonomi dalam negeri. Google ads dan Facebook ads dengan ekosistemnya, misalnya, menjadi dua platform penyedot iklan paling kuat saat ini. Kenyataan ini membuat platform-platform karya anak bangsa tidak cukup berdaya untuk menghadapi kedua raksasa tersebut.
“Akhirnya, platform nasional banyak memilih berkolaborasi dengan keduanya demi mendapat bagian kecil kue iklan dari dunia korporasi dalam negeri. Pilihan ini terpaksa diambil meski sebenarnya pembagian dari kue tersebut lebih banyak menguntungkan raksasa tersebut,” katanya.
Situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara yang kemudian menyadari adanya aturan main yang tidak fair. Sayangnya, reaksi yang muncul berbeda-beda. “Ada yang diam, dan ada yang melawan seperti Australia. Negara itu mewajibkan ekosistem Google dan Facebook membayar royalti kepada media setempat untuk setiap konten yang dimuat,” kata Ali.
Menurutnya, aturan semacam ini menjadikan lanskap media dan jurnalisme nasional tetap berkelanjut di Negara Kanguru tersebut. Merujuk kenyataan tersebut, Ali mendorong agar Indonesia mengikuti jejak Australia. Baginya, nagara harus hadir untuk memastikan keberadaan plaform luar tidak menghancurkan lanskap media dan jurnalisme dalam negeri.
“Melalui perusahaan negara yang bergerak dalam teknologi digital seperti Telkom, negara bisa menjalankan langkah serupa dengan Australia. Bisa juga negara kemudian membangun platform advertising digital yang memberi ruang lebih adil bagi media dan content creator dalam negeri,” katanya.
Peran pemerintah sebagai pemegang kuasa kebijakan, sangatlah penting untuk menjaga kedaulatan ekosistem digital yang kita miliki. Jangkauan teknologi digital memang bisa menembus sekat-sekat teritori kenegaraan, namun bagi Ali, hal tersebut bukan berarti kepentingan nasional terabaikan. “Perlu dibuat dalam ekosistem digital. Regulasi dan political will sangat diperlukan agar gelombang digitalisasi ini memberi banyak keuntungan bagi kepentingan nasional,” katanya.