REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih punya waktu sekitar dua minggu sampai akhir September untuk menggenjot belanja. Belanja pemerintah menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional selama masa pandemi Covid-19, setelah konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi tumpuan pun anjlok.
Ketua Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi, Budi Gunadi Sadikin, menjelaskan bahwa pihaknya mematok target penyaluran anggaran pemulihan ekonomi sampai Rp 100 triliun sampai akhir September 2020. Dari angka tersebut, realisasi tertinggi disumbangkan oleh program subsidi gaji dan bantuan presiden (banpres) poduktif untuk UMKM.
"Sampai saat ini selama tujuh pekan, sudah Rp 87,58 triliun yang kita bisa salurkan. Jadi kita masih punya waktu dua minggu. Kalau angkanya bisa mencapai Rp 100 triliun, efek multipliernya bisa sangat membantu untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga ini," ujar Budi dalam keterangan pers di kantor presiden, Rabu (16/9).
Rincian dua program bantuan langsung tunai (BLT) yang jadi andalan pemerintah untuk menggenjot serapan anggaran, sebagai berikut. Dari pagu program banpres untuk pelaku UMKM sebesar Rp 22 triliun, saat ini sudah tersalurkan Rp 13 triliun atau 66 persen. Masih ada sisa sekitar Rp 8,6 triliun yang harus dikejar sepanjang dua pekan ke depan.
Kemudian ada subsidi gaji. Dari pagu sebesar Rp 37,8 triliun, sudah tersalurkan sekitar Rp 8 triliun dalam dua batch pencairan. Pemerintah akan mengejar penyaluran sampai Rp 8,8 triliun lagi yang terbagi dalam batch sampai akhir September.
"Jadi ada dua program besar kita, yang sampai akhir September kita dorong. Kalau dua program unggulan tadi bisa diselesaikan sampai akhir September, maka ada Rp 17,4 triliun tambahan. Dan ini bisa mendorong sentuh angka Rp 100 triliun dalam tiga bulan terakhir," kata Budi.
Target penyaluran anggaran pemulihan ekonomi sampai Rp 100 triliun sampai akhir September bukan tanpa alasan. Budi mengungkapkan, ada hitung-hitungan sampai muncul angka Rp 100 triliun yang perlu dikejar pemerintah.
Penjelasannya diawali dengan fakta angka bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 1 triliun dolar AS atau sekitar Rp 14.500 triliun (dalam setahun). Bila dibagi ke dalam kuartalan, maka angka tersebut dibagi empat menjadi Rp 3.635 triliun untuk setiap kuartalnya. Angka tersebut menggambarkan nilai PDB setiap kuartal.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal II 2020 lalu minus 5,32 persen. Artinya, pada kuartal II lalu, PDB 'kehilangan' Rp 188 triliun (5,32 persen dari Rp 3.635 triliun).
"Saya bukan ahli ekonomi, tetapi saya dikasih tahu teman di ekonomi kalau misalnya pemerintah salurkan uang Rp 100 triliun kira-kira dampak ke GDP-nya, dikalikan angka fiskal multiplier yang besarnya sekarang 2,1. Jadi dampaknya sekitar Rp 200 triliun," kata Budi.
Dengan demikian, untuk mengompensasi minus 5,32 persen pertumbuhan PDB pada kuartal II 2020, maka pemerintah perlu menambah Rp 188 triliun yang hilang. Demi menambal pertumbuhan yang minus itulah, pemerintah perlu belanja sedikitnya Rp 100 triliun pada kuartal ini.
"Itu sebabnya mengapa kita kejar, bekerja keras penyaluran mencapai Rp 100 triliun. Sehingga bisa berikan dampak ke GDP sekitar 2,1 kali Rp 100 triliun, jadi Rp 220 triliun. Hitungan kasarnya seperti itu," kata Budi.
Budi tidak menutup fakta bahwa perhitungan pertumbuhan ekonomi tak sederhana formula di atas. Namun menurutnya, belanja pemerintah yang bisa maksimal di sisa September ini bisa menjadi daya ungkit bagi PDB nasional kuartal III. Dengan begitu, maka Indonesia bisa terhindari dari resesi.