REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menaikkan target defisit tahun depan hingga Rp 35,2 triliun menjadi Rp 1.006,4 triliun. Kebijakan ini diambil seiring dengan peningkatan ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan perubahan pada postur pendapatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, target defisit terbaru ini mengalami kenaikan 0,2 persen dari Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2021 yang dibacakan Presiden Joko Widodo pada pertengahan Agustus. Semula, pemerintah menetapkan target defisit tahun depan berada di kisaran Rp 971,2 triliun atau 5,5 persen dari PDB dan kini menjadi Rp 1.006,4 triliun, setara dengan 5,7 persen dari PDB.
"Dengan mempertimbangkan ketidakpastian di dalam tahun 2021 dan program yang telah disusun dan dibahas oleh Kementerian dengan Komisi (XI DPR), defisit anggaran alami kenaikan 0,2 persen dari yang disampaikan Presiden," tutur Sri dalam Rapat Kerja dengan Banggar DPR secara virtual, Jumat (11/9).
Dalam postur RAPBN 2021 sementara yang terbaru, pemerintah menargetkan pendapatan negara pada tahun depan mencapai Rp 1.743,6 triliun. Angka ini turun Rp 32,7 triliun dari target semula yang sudah disampaikan dalam Nota Keuangan.
Penurunan terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang menyusut hingga Rp 37,4 triliun, menjadi Rp 1.444,5 triliun. Sri mengatakan, kebijakan ini diambil setelah melihat perkembangan sampai dengan Agustus yang masih jauh dari target. Realisasinya baru Rp 795,95 triliun, atau 54 persen dalam target APBN 2020, Rp 1.404 triliun.
Sri memproyeksikan, tekanan penerimaan korporasi dan perseorangan akibat pandemi Covid-19 akan membuat target penerimaan perpajakan tahun ini sulit tercapai sampai akhir tahun.
Situasi serupa diyakini Sri masih terus berlangsung sampai tahun depan. Pandemi berpotensi menciptakan ketidakpastian berkepanjangan yang berpotensi menekan penerimaan perpajakan. "Oleh karena itu, kita melakukan pembahasan untuk koreksi," ujarnya.
Sri menyebutkan, target penerimaan perpajakan terbaru sudah menggambarkan kondisi realistis, namun juga masih menunjukkan akan ada effort yang dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel. Baik dari sisi pajak, kepabeanan dan cukai maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Di sisi lain, postur belanja mengalami kenaikan Rp 2,5 triliun menjadi Rp 2.750 triliun. Salah satunya, dikarenakan adanya penambahan volume LPG bersubsidi dari 7 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton. Dampaknya, belanja untuk subsidi energi pun bertambah Rp 2,4 triliun.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan Rp 15,8 triliun untuk tambahan cadangan belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang semula tidak tercatat dalam Nota Keuangan RAPBN 2021.