REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan, potensi pasar lobster sangat menjanjikan. “Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia dan Indonesia, serta semakin bertambahnya penduduk kelas menengah ke atas (consuming class), maka, permintaan akan komdoitas maupun produk olahan lobster akan terus meningkat,” kata Prof Rokhmin Dahuri pada webinar “Peluang Berbisnis Budidaya Lobster” yang diadakan oleh KOMARI (Komunitas Masyarakat Maritim Indonesia), Selasa (25/8).
Selain itu, dia menambahkan, sejalan dengan pesatnya kemajuan IPTEK, sebelum dan sesudah pandemi Covid-19, transportasi dan logistik lobster di dalam wilayah NKRI maupun di tingkat global semakin cepat, mudah, murah, efisien, dan aman.
Potensi produksi lobster Indonesia juga dinilai sangat besar. “Sebagai negara dengan luasan ekosistem terumbu karang (habitat utama lobster) terluas kedua di dunia dan paling tinggi biodiversity-nya, Indonesia memiliki potensi Benih Lobster (BL) untuk dibudidayakan dan lobster dewasa (ukuran konsumsi) yang bisa dipanen dari alam (laut) salah satu terbesar di dunia,” paparnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Rokhmin menyebutkan beberapa permasalahan dan tantangan budidaya lobster di Indonesia. Pertama, masa transisi, dari larangan budidaya lobster (Permen KP No.1/2015 dan Permen KP No.56/2016) ke dibolehkan dan didorong untuk budidaya lobster di dalam negeri (Permen KP No. 12/2020).
Kedua, kinerja usaha budidaya (pembesaran) masih rendah dibandingkan Vietnam (SR rendah atau < 50%, pertumbuhan lambat, FCR tinggi, efisiensi pakan rendah), sehingga daya saing budidaya relatif rendah. SR di Vietnam > 70%.
Ketiga, pakan buatan belum berkembang, masih berbasis pakan ikan rucah yang musiman, mutu tidak standar dan pembawa penyakit (pathogen carrier).
Keempat, masyarakat lebih memilih menangkap BL untuk diekspor (karena harganya jauh lebih tinggi) dibandingkan dijual di dalam negeri untuk budidaya.
Kelima, sebagai pesaing Indonesia, Vietnam mampu mengembangkan budidaya lobster yang berdaya saing tinggi, meskipun dengan harga benih lobster yang jauh lebih tinggi (dari Indonesia).
Menurut Rokhmin, hal itu bisa terjadi karena: ketersediaan pakan alam (kekerangan, kepiting, udang, dan ikan rucah) dari penangkapan (trawlers dan purse seiners) maupun budidaya; gteknologi KJA; kapasitas dan etos kerja pembudidaya; dan jarak dari lokasi budidaya lobster di Vietnam ke pasar utama lobster (China) hanya 8 jam dengan kendaraan darat.
Kelima, dengan SR pembesaran BBL yang rendah, penangkapan lobster ukuran konsumsi lebih menguntungkan.
Keenam, dampak sementara euforia diterbitkannya Permen KP No. 12/2020: Harga BBL naik tajam (> Rp 8.000/ekor), karena ulah pengepul; ketersediaan BBL untuk budidaya (pembesaran) lobster di beberapa wilayah NKRI menjadi berkurang; pintu ekspor terbatas dan perusahaan cargo untuk ekspor terbatas; dan biaya transportasi ekspor mahal.
Ketujuh, kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal, moneter, perbankan, RTRW, iklim investasi, dan Ristek) yang kurang kondusif.
Rokmin kemudian menguraikan strategi pengembangan industri budidaya lobster yang berdaya saing dan mensejahterakan secara berkelanjutan.
Pertama, pengembangan usaha budidaya (pembesaran) budidaya benih lobster (BBL) secara segmentasi: penderan-1 à pendederan-2 à pembesaran menghasilkan lobster ukuran konsumsi (> 200 gram) di wilayah-wilayah penghasil BBL secara alami.
Kedua, penguatan dan pengembangan teknologi budidaya lobster: (1) hatchery; (2) pakan (alami, pellet); (3) material dan design KJA; (4) pengendalian hama dan penyakit; (5) manajemen kualitas air; dan (6) biosecurity à Sehingga, lobster hasil budidaya Indonesia lebih berdaya saing.
Ketiga, kewajiban bagi eksportir BBL untuk menjual BBL kepada pembudidaya di dalam negeri sesuai kebutuhan, dengan harga sesuai nilai keekonomian pembesaran lobster dalam negeri.
Keempat, “Curi” teknologi budidaya (pembesaran) dari Vietnam.
Kelima, penguatan dan pengembangan pasar lobster ukuran konsumsi, baik pasar domestik maupun ekspor.
Keenam, penguatan dan pengembangan R & D serta inovasi terkait teknologi budidaya dan manajemen usaha lobster.
Ketujuh, peningkatan kapasitas dan etos kerja SDM (pembudidaya, peneliti, dan stakeholders).
Kedelapan, kebijakan politik-ekonomi harus kondusif.