REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, program subsidi gaji untuk peserta BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek akan sulit mendongkrak pemulihan ekonomi melalui konsumsi tahun ini. Proses verifikasi data membutuhkan waktu panjang, sehingga tidak cukup waktu untuk memberikan dampak besar ke perekonomian sampai akhir tahun.
Yusuf menuturkan, pemerintah memerlukan waktu untuk melakukan verifikasi penerima, paling cepat pada akhir bulan. Setelahnya, subsidi gaji baru bisa tersalurkan ke seluruh sasaran penerima subsidi pada awal September yang merupakan periode terakhir dari kuartal ketiga.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah hanya memiliki waktu satu kuartal untuk mengembalikan konsumsi rumah tangga ke pertumbuhan positif, setelah mengalami kontraksi pada kuartal kedua. "Akselerasi konsumsi menjadi tidak secepat yang diharapkan," tutur Yusuf saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (11/8).
Secara teoritis, Yusuf mengatakan, penambahan uang yang dipegang oleh masyarakat, terutama bagi kelompok penghasilan menengah-kebawah dapat mendorong kecenderungan untuk konsumsi. Hanya saja, karena waktu yang terlalu mepet, dampak subsidi gaji terhadap kenaikan konsumsi memang tidak akan terlalu besar.
Di sisi lain, pemerintah masih fokus penyaluran pada peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, menurut Yusuf, sebenarnya pemerintah perlu fokus juga pada kepada kelompok masyarakat kini tidak aktif menjadi peserta aktif karena pandemi.
Yusuf memberikan contoh, mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga harus mencairkan tabungan BPJS Ketenagakerjaan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. "Data mereka juga bisa ditrack dengan BPJS. Kelompok ini yang sebenarnya membutuhkan dorongan daya beli juga," katanya.
Untuk kelompok yang sudah tidak menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan akibat pandemi, Yusuf menganjurkan, pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini dikarenakan BLT akan memberikan dampak lebih signifikan untuk mendorong konsumsi rumah tangga yang menjadi fokus pemerintah saat ini.
Terkait data, Yusuf mengatakan, pemerintah bisa menggunakan data BPJS Kesehatan, dengan catatan BPJS masih menyimpan data historis dari orang-orang tersebut. Pemerintah selanjutnya bisa melakukan verifikasi untuk memastikan apakah mereka memang kehilangan daya beli. Salah satunya dengan melihat konsumsi telepon atau pulsa yang kini menjadi kebutuhan utama banyak orang.
Alternatifnya, Yusuf menuturkan, orang-orang yang terkena dampak PHK dapat dimasukkan dalam kelompok tambahan pada anggaran Perlindungan Ekonomi Nasional (PEN) bidang jaring pengaman sosial. "Artinya, ada perlindungan khusus untuk kelompok ini," ujarnya.
Pemerintah berencana memberikan subsidi gaji Rp 2,4 juta untuk pekerja yang memiliki pendapatan di bawah Rp 5 juta per bulan. Bantuan hanya ditujukan untuk mereka yang termasuk dalam keanggotan BPJS Ketenagakerjaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, bagi masyarakat yang tidak masuk dalam kategori tersebut, bisa menggunakan fasilitas Kartu Prakerja. Program ini juga menawarkan nominal bantuan serupa, yakni Rp 2,4 juta.
"Banyak orang berpendapatan di bawah Rp 5 juta dan tidak terdaftar di BPJS (Ketenagakerjaan). Ini yang kita tampung dalam Kartu Prakerja. Benefitnya sama, Rp 600 ribu dikali empat bulan, Rp 2,4 juta," katanya dalam Webinar Stimulus Pemerintah untuk Memperkuat UMKM, Selasa (11/8).
Sri menjelaskan, Kartu Prakerja bisa dimanfaatkan untuk mereka yang terkena PHK atau dirumahkan ataupun mereka yang sedang mencari pekerjaan. Untuk mendapatkan insentif tersebut, masyarakat harus aktif mendaftar dan mengikuti tahapan penerimaan Kartu Prakerja.