REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti perpajakan dari DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menilai insentif fiskal yang diberikan pemerintah harus tepat sasaran. Tujuannya agar ekonomi domestik dapat pulih lebih cepat.
Menurut Bawono, masyarakat dan dunia usaha khususnya korporasi, membutuhkan insentif yang berbeda dalam setiap fase pemulihan ekonomi. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali jenis insentif, kriteria yang dapat dimanfaatkan, durasi insentif, dampak dan efektivitas, serta administrasinya.
"Pemberian insentif tidak bisa bersifat permanen dan disamakan dalam waktu lima tahun mendatang,” ujar Bawono dalam keterangan di Jakarta, Selasa (4/8).
Selain itu, insentif fiskal juga dapat dioptimalkan menarik investasi, apalagi di masa pandemi. Vietnam, misalnya, memberikan insentif perpajakan yang sangat agresif.
Begitu pula dengan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Filipina. Banyak negara berlomba-lomba memberikan insentif fiskal sebagai pemanis untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya.
Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menyatakan, meskipun pemberian insentif fiskal agak bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk melebarkan basis pajak dan meningkatkan rasio perpajakan alias tax ratio, namun hal ini harus dilakukan untuk bisa bersaing dengan negara berkembang lain dalam menarik investasi ke Indonesia. Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa Indonesia saat ini tengah berkompetisi dengan negara-negara berkembang khususnya dalam konteks menarik investasi, yaitu investasi yang membuat perekonomian bergerak dan menghasilkan lapangan kerja baru.
Pemberian insentif fiskal diyakini akan mendorong masuknya investasi yang dapat membawa lapangan pekerjaan baru yang pada gilirannya akan meningkatkan basis pajak dan tax ratio dalam jangka panjang.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat nilai realisasi investasi di kuartal II-2020 sebesar Rp 191,9 triliun dengan rincian sebesar Rp 94,3 triliun merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sementara sebesar Rp 97,6 triliun merupakan Penanaman Modal Asing (PMA).
Dibandingkan periode sama tahun lalu, total nilai investasi di kuartal II-2020 turun sebesar 4,3 persen. Realisasi PMA turun lebih dalam, yakni sebesar 6,9 persen. Sementara jika dibandingkan kuartal I-2020, realisasi investasi di kuartal II-2020 turun hingga 8,9 persen. PMDN tercatat anjlok hingga 16,4 persen.