REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cuaca dan iklim merupakan faktor alam yang sangat berpengaruh dalam usaha pertanian. Kondisinya yang terkadang tidak sesuai dengan prediksi perlu disiasati dengan penerapan teknologi agar usaha pertanian tetap memberikan hasil yang menguntungkan.
Keunikan yang dimiliki alam tropis ini, menurut Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) jangan dijadikan kendala. Kerahkan segala upaya agar produksi terjaga, bermutu dan berkualitas. Dalam hal ini teknologi rain shelter menjadi solusi untuk menjaga produktivitas tanaman cabai di musim hujan.
Rain shelter merupakan atap sungkup dari plastik UV yang dipasang menggunakan kerangka bambu, besi dan sejenisnya di atas pertanaman cabai. Penggunaan rain shelter pada pertanaman cabai di musim hujan memberikan banyak manfaat diantaranya petani menjadi lebih tenang karena tanamannya terlindungi dari guyuran air hujan secara langsung sehingga bunga tidak rontok dan buah tidak busuk. Kelembapannya pun terjaga sehingga dapat mencegah serangan penyakit yang sangat ditakuti petani yakni antraknosa dan phythoptora.
Bambang Nuryono, petani cabai asal Purbalingga telah melakukan budidaya cabai menggunakan rain shelter sejak tahun 2007. Sepanjang pengalamannya hampir tidak pernah gagal.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon, pada Senin (27/7), pihaknya menjelaskan bahwa budidaya cabai menggunakan rain shelter ini pada umumnya sama dengan budidaya cabai biasa, namun disarankan dalam satu bedengan hanya satu baris tetapi jarak tanamnya lebih rapat. Tujuannya untuk mengurangi populasi hama thrips.
“Salah satu kelemahan budidaya cabai dengan rain shelter memang serangan thripsnya lebih banyak makanya tetap perlu penyiraman dan 20 hari sekali plastik UV harus digulung. Tapi buat saya mengendalikan thrips lebih gampang dibandingkan antraknose, sehingga saya suka budidaya cabai dengan rain shelter ini," ujar Yoyon sapaan akrabnya. Pengendalian thrips lebih mudah, bisa dengan disemprot air biasa yang sekaligus untuk penyiraman.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraha, mengimbau agar teknologi-teknologi seperti di Purbalingga ini bisa disebarluaskan sehingga produksi cabai tidak terkendala oleh musim. Petani bisa menanam cabai tanpa khawatir merugi meskipun musim hujan.
“Dilihat dari segi biaya, modalnya memang terlihat lebih besar dibanding dengan budidaya tanpa sungkup. Namun demikian, sebenarnya sama saja. Penggunaan sungkup ini dapat menekan pengeluaran biaya pestisida dan biaya tenaga kerja semprot serta sanitasinya. Selain itu potensi hasilnya juga lebih banyak karena buah tidak kena patek. Pun biasanya harga cenderung lebih menguntungkan dimusim-musim tersebut,” jelas Tommy.
Senada, Dessi Rahmaniar, Kasubdit Aneka Cabai dan Sayuran Buah menambahkan untuk pengendalian hama dapat menggunakan pestisida nabati yang biayanya lebih efisien namun fungsinya sama seperti pestisida kimia. Pestisida nabati dapat dibuat sendiri dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di lingkungan sekitar seperti daun cengkeh, daun sirsak, daun mimba, dan daun papaya. Dengan cara di ekstrak dan hasilnya dicampurkan dengan air untuk penyemprotan.
Penggunaan pestisida nabati dapat meminimalisir penggunaan pestisida kimia, dengan demikian diharapkan produk cabai kita aman dikonsumsi, bahkan bisa berpeluang untuk ekspor sebagaimana prasyarat ekspor ke negara Jepang contohnya.