REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmi Radhi menilai meski semester pertama ini PLN belum bisa membukukan keuangan yang moncer namun kondisi keuangan masih sehat. Fahmi menilai kondisi merosotnya laba perusahaan setrum ini karena beban perusahaan untuk menjalankan penugasan.
Selain itu, juga persoalan utang dan kompensasi yang menjadi janji pemerintah yang belum terbayarkan. "Ditinjau dari proporsi utang jangka yang lebih besar ketimbang utang jangka pendek menunjukkan bahwa keuangan PLN masih diketegorikan sehat dinilai dari indikator likuiditas, termasuk kemampuan membiayai biaya operasi dan membayar utang," ujar Fahmi kepada Republika.co.id, Rabu (29/7).
Fahmi menjelaskan, selama ini sumber dana yang digunakan PLN memang lebih banyak sumber dana utang, utamanya dari global bond. Dana utang tersebut digunakan untuk membangun pembangkit listrik, jaringan distribusi dan transmisi.
Dalam laporan keuangan PLN kuartal I/2020 total utang PLN sudah mencapai Rp 694,79 triliun. Utang itu terdiri dari utang jangka panjang sebesar Rp 537 triliun dan utang jangka pendek Rp 157,79 triliun.
"Penggunaan utang sebesar itu tidak bisa dihindari, lantaran investasi untuk membiayai proyek-proyek PLN membutuhkan investasi dalam jumlah besar, yang tidak tercukupi dari dana sumber internal," ujar Fahmi.
Ia menilai jika pemerintah ingin PLN mencatatkan keuangan yang positif maka perlu ada dukungan dari pemerintah berupa pembayaran kompensasi dan subsidi. "Pemerintah tentunya akan mengambil berbagai upaya untuk mencegah PLN bangkrut, termasuk segera mencairkan dana kompensasi dalam waktu dekat ini," tambah Fahmi.