REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketidakpastian ekonomi masih membayangi pergerakan pasar saham. Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi mengaku tidak bisa memastikan secara pasti pergerakan indeks ke depan.
Namun melihat krisis serupa yang pernah terjadi sebelumnya, Hasan mengatakan, potensi kejatuhan pasar gelombang kedua atau second crash mungkin saja terjadi.
"Memang dibeberapa krisis sebelumnya potensi second crash terbuka untuk terjadi. Tapi untuk ke depan tidak bisa ditebak, apakah akan terus melanjutkan recovery atau kembali ke bawah," kata Hasan, Selasa (28/7).
Pada awal tahun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh posisi tertinggi di level 6.325,41. Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif di Indonesia untuk pertama kalinya, IHSG langsung anjlok ke level 5.518,63 dan terus mencapai titik terendah di level 3.937,63.
Meski tidak dapat memastikan pergerakan indeks ke depan, Hasan mengingatkan para investor agar mengenali objek saham yang akan dipilih menjadi tujuan investasi. Investor juga sebaiknya mencermati seluruh paramater yang mungkin terjadi baik dari sisi makro, mikro maupun kinerja perusahaan.
Hasan mengungkapakan, setiap perusahaan memiliki daya tahan yang berbeda terhadap dampak krisis Covid-19. Ada sebagian saham yang tahan terhadap krisis dan ada juga perusahaan yang tidak bisa melewati krisis.
"Jadi tolong tetap mengikuti perkembangan terutama aspek mikrofundamental dari masing-masing saham agar keputusan investasi kita menjadi yang terbaik dan sustain pada saat terjadi potensi resesi dikemudian hari," terang Hasan.
Guru besar keuangan dan pasar modal FEB-UI Budi Frensidy memperkirakan IHSG akan butuh waktu lama untuk bisa kembali ke posisi 6.300 seperti di awal tahun. Berdasarkan kebijakan makro ekonomi, pemerintah mengasumsikan kondisi ekonomi baru bisa kembali normal pada 2023 mendatang.
Menurut Budi, lambatnya pemulihan IHSG ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang masih negatif hingga kuartal II. Budi melihat, pertumbuhan negatif masih akan berlanjut di kuartal III.
"Apalagi selama 20 tahu terakhir tren pasar saham kita di bulan Agustus itu memang menyedihkan," tutur Budi.
Budi menambahkan, hal tersebut akan diperburuk dengan laporan kinerja keuangan korporasi yang diperkirakan mengalami penurunan pada tahun ini. Budi memprediksi laba perusahaan rata-rata akan terkoreksi 20-40 persen pada akhir 2020.
Sementara itu, Direktur Anugerah Investama Sekuritas Hans Kwee menilai kemungkinan adanya second crash sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19. Sebagian negara seperti Indonesia dan Amerika Serikat masih berjuang memenangkan gelombang pertama pandemi Covid-19.
Namun, Hans menggarisbawahi, second crash di pasar saham bukan terjadi karena pandemi. Menurutnya, potensi second crash bisa terjadi apabila pemerintah melakukan lockdown secara ketat.
"Kemungkinan pasar akan turun karena akan diikuti dengan data ekonomi yang buruk," terang Hans.
Meski demikian, Hans melihat seluruh dunia mulai sepakat untuk tidak akan melakukan lockdown secara ketat. Contohnya saja di Amerika Serikat. Walaupun di sana mengalami kenaikan kasus yang signifikan, pemerintahnya memilih untuk tidak menerapkan lockdown secara ketat.
"Kalau pemerintah bisa melakukan lockdown secara parsial, ekonomi masih bisa gerak," kata Hans. Di sisi lain, kabar mengenai perkembangan penemuan vaksin dan obat Covid-19 menjadi sentimen positif yang meningkatkan optimisme pasar.