REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Proses importasi sapi bakalan ke Indonesia mengalami penurunan. Kementerian Pertanian (Kementan) menilai turunnya impor lebih diakibatkan oleh melemahnya permintaan dalam negeri.
Data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, menunjukkan, pemasukan sapi bakalan impor hingga akhir Juni 2020 baru mencapai 245 ribu ekor atau setara 48,2 ribu ton. Adapun prognosis impor sapi bakalan 2020 sebanyak 550 ribu ekor setara 123,2 ribu ton.
"Saat ini impor sapi cukup lumayan penurunannya, baru sekitar 30 persen (dari prognosis)," kata Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa dalam sebuah diskusi virtual yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi, Selasa (14/7).
Fadjar mengatakan, realisasi impor itu tergolong kecil lantaran saat ini sudah memasuki paruh kedua 2020. Namun, menurunnya impor tersebut bukan lantaran dipicu oleh naiknya produksi sapi, melainkan karena menurunnya permintaan daging di dalam negeri.
Di satu sisi, ia menilai sejumlah importir masih memiliih wait and see hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih stabil. "Kita akan lihat apakah nanti akan naik (imporny) atau tetap (rendah) seperti ini. Covid-19 tidak ada masalah itu tergantung lockdown diluar negeri, tapi ada faktor lain seperit harga dolar dan penurunan demand," ujarnya.
Menyikapi situasi pasar yang sedang melemah, Fadjar mengatakan, Kementan sudah menerbitkan relaksasi impor sapi bakalan untuk meringankan beban para importir. Yakni sejak Februari 2020 meniadakan kewajiban menyertakan 5 persen sapi indukan dari total alokasi impor sapi bakalan.
Di sisi lain, khusus impor dari Australia, pasca kesepakatan perjanjian dagang IA-CEPA, kedua negara sepakat menghilangkan bea masuk jika impor sapi bakalan dalam satu tahun kurang dari 575 ribu ekor.
Fadjar mengatakan, lewat dua kebijakan tersebut diharapkan impor sapi bakalan dapat kembali digenjot untuk mengamankan kebutuhan sapi. Pemerintah, kata dia, pada dasarnya tidak mempersoalkan jika impor mengalami penurunan jika produksi lokal telah terserap agar ada keseimbangan pasar.
"Secara total Indonesia belum bisa penuhi semua kebutuhan daging, tapi tetap harus seimbang dan proporsional. Produk lokal punya posisi sehingga impor untuk menutupi kekurangan," katanya.