Sabtu 04 Jul 2020 04:19 WIB

Nilai Reksadana Turun Saat Pandemi, Haruskah Panik?

Pandemi membuat investor reksadana alami kerugian

Pekerja melihat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta. ilustrasi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja melihat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Infovesta Utama Parto Kawito menyarankan investor untuk tidak mudah panik dalam situasi krisis akibat pandemi seperti saat ini. Khususnya bagi yang berinvestasi di reksa dana.

"Saat ini sebaiknya investor tidak panik atau melakukan redemption reksa dananya. Sebab, selama unit penyertaan masih ada di rekening investor, penurunan aset reksa dana yang terjadi baru menciptakan potensi kerugian," ujar Parto dalam keterangan di Jakarta, Jumat (3/7).

Baca Juga

Pandemi COVID-19 yang terjadi di Tanah Air sejak Maret lalu membuat banyak investor reksa dana mengalami potensi kerugian investasi. Hal ini terutama terjadi pada produk reksa dana saham atau yang underlying aset investasinya adalah saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Menurut Parto, potensi kerugian tidak hanya terjadi di reksa dana berbasis saham. Jenis reksa dana lain seperti reksa dana pendapatan tetap juga mengalami fase naik-turun seiring pergerakan harga obligasi yang menjadi underlying-nya.

Meski demikian, selama investor tidak mencairkan atau melakukan redemption atas reksa dananya maka masih disebut sebatas sebagai potensi rugi.

"Kerugian baru terjadi ketika investor melakukan redemption atas reksa dana yang dimilikinya," kata Parto.

Naik turunnya investasi di reksa dana, lanjut Parto, sebenarnya adalah hal biasa. Indonesia sempat mengalami beberapa kali masa krisis dan terbukti bisa melewatinya dengan baik. Seperti di tahun 1998 lalu, kemudian di tahun 2008 akibat krisis keuangan di Amerika yaitu subprime mortgage facility, industri reksa dana di Indonesia juga terkena dampaknya.

"Kembali ke sejarah, tahun 1998 saham turun, 2008 turun, ternyata kemudian saham dan reksa dana berbalik dan kembali naik lagi," ujar Parto.

Parto menuturkan, malah setiap krisis sesungguhnya juga memberikan peluang investasi karena nilai unit investasi menjadi terdiskon dan ini menjadi kesempatan buat investor untuk melakukan top up.

Strategi investasi dengan melakukan pembelian secara bertahap ketika harga saham di bursa sedang mengalami penurunan atau "average down" membuat harga pembelian rata-rata menjadi turun. Sehingga ketika kondisi pasar mulai membaik, posisi untung lebih mudah dicapai dibanding tanpa melakukan "average down".

"Justru kalau ada uang sekarang waktunya top up, jadi harga rata-ratanya semakin baik. Ini saatnya membalikkan kerugian," kata Parto.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement