REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut tingkat kesehatan bank dalam pengawasan tidak bisa diungkapkan kepada publik oleh regulator di seluruh dunia. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Setiap statement yang kami sampaikan belum tentu ekspektasinya sesuai tujuan positif kita, yang disebut juga unintended consequenses," kata Kepala Departemen Pengawasan Bank OJK Defri Andri dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (2/7).
Defri hanya bisa mengungkapkan metode untuk mengukur kesehatan bank yang dilakukan seperti 'rumah tumbuh' dalam mengawasi kinerja perbankan. Metode ini, kata dia, disesuaikan dengan kepentingan nasional karena Indonesia sudah menerapkan manajemen risiko tahun 1999.
"Awal tahun 1999 kemudian 2003, diubah lagi tahun 2011 metodologinya dengan cukup signifikan,"katanya.
Menurut dia, metode rumah tumbuh diaplikasikan regulator ini yang disesuaikan dengan sejumlah parameter penilaian ketika menghadapi kondisi tertentu. Sebagian metode lainnya, lanjut dia, juga menggunakan parameter yang sesuai dengan standar internasional.
Senada dengan Defri, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan menyebut nama-nama bank dalam pengawasan berpotensi memberikan dampak negatif tidak hanya bank terkait tetapi juga industri keuangan.
Untuk itu, ia mendorong lembaga negara yang menyampaikan hasil audit terhadap OJK untuk memikirkan dampak yang ditimbulkan jika menyebut nama-nama bank dalam pengawasan.
"Karena dampaknya sangat negatif terhadap perbankan, bank bersangkutan dan ujungya kepada perbankan keseluruhan, kita kenal efek domino sistem keuangan," katanya.