REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, tingkat realisasi fisik stimulus di sektor kesehatan baru mencapai 4,68 persen dari anggaran yang sudah disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni Rp 87,55 triliun. Artinya, masih ada 95 persen atau sekitar Rp 83 triliun di antaranya yang belum tersalurkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, proses administrasi dan verifikasi yang rigid masih menjadi kendala besar dalam implementasi stimulus fiskal ini. "Makanya, masih muncul (permasalahan) kenapa tenaga kesehatan belum mendapatkan kompensasi, padahal APBN-nya sudah diberikan alokasi," ucapnya dalam diskusi online IPB Business Talk Series, Sabtu (27/6).
Sri mengakui, tantangan terbesar pemberian stimulus ini berada pada level operasional dan proses administrasi. Kondisi tersebut dikarenakan sejumlah stimulus baru memasuki tahap awal.
Ia berkomitmen akan melakukan perbaikan untuk percepatan di lapangan dengan menggandeng pemangku kepentingan terkait.
Tantangan juga dirasakan untuk pelaksanaan insentif biaya klaim perawatan pasien. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat verifikasi yang belum diproses di rumah sakit.
Di sisi lain, Sri menekankan, proses verifikasi yang lama juga dikarenakan sikap kehati-hatian dari pemerintah untuk menyalurkan stimulus. "Meskipun, at the cost, sampai Juni, belum semuanya mendapatkan kompensasi tenaga kesehatan. Begitu juga dengan santunan meninggal," ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Realisasi rendah juga terlihat pada stimulus fiskal penanganan melalui sektoral dan pemerintah daerah. Baru 4,01 persen yang tersalurkan dari total anggaran Rp 106,11 triliun. Sri mengatakan, rendahnya realisasi dikarenakan masih banyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang belum direvisi, sedangkan APBN sudah diperbaiki melalui Peraturan Presiden.
Insentif pembiayaan korporasi bahkan masih di level nol persen atau sama sekali belum terimplementasikan. Pemerintah masih menyelesaikan skema dukungan dan regulasi serta infrastruktur pendukung dari sisi operasionalisasi.
Insentif usaha dalam bentuk perpajakan relatif baik dengan realisasi 10,14 persen dari total anggaran Rp 120,61 triliun. Hanya saja, Sri mencatat, masih ada Wajib Pajak (WP) yang eligible untuk memanfaatkan insentif pajak belum atau tidak mengajukan permohonan. Oleh karena itu, ia memastikan akan melakukan sosialisasi lebih masif.
Realisasi insentif untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sudah mencapai 22,74 persen. Sri mengatakan, realisasi yang cukup bagus ini dikarenakan pemerintah baru saja menempatkan dana di Himbara senilai Rp 30 triliun.
Sedangkan, kalau dilihat dari penyaluran subsidi bunga ataupun restructuring kredit, masih dibutuhkan akselerasi. "Bulan Juli mungkin akan terlihat untuk progress subsidi bunga," kata Sri.
Realisasi paling tinggi terlihat pada pemberian perlindungan sosial. Sampai akhir Juni ini, sudah 34,06 persen dari total anggaran Rp 203,90 triliun sudah tersalurkan ke masyarakat. Beberapa program bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH), sembako dan bansos tunai menunjukkan kinerja optimal, sedangkan dana desa masih perlu diakselerasi.
Sri menjelaskan, tantangan terbesar pada perlindungan sosial adalah inclusion error pada data. Ini akan memunculkan dinamika di lapangan yang harus terus diperbaiki. "Kementerian sosial bersama pemda akan terus melakukan koordinasi," tuturnya.
Secara total, pemerintah menganggarkan Rp 695,20 triliun untuk penanganan Covid-19. Sebagian besar di antaranya ditujukan untuk perlindungan sosial dan dorongan terhadap UMKM.