REPUBLIKA.CO.ID, JAKRTA -- Ketersediaan dan harga pangan menjadi isu penting pada masa new normal, di tengah sinyalemen menurunnya daya beli masyarakat sebagai imbas pandemi Covid-19. Kementerian Pertanian (Kementan) terus melakukan berbagai upaya untuk memastikan produksi pangan cukup memenuhi kebutuhan nasional serta terjangkau oleh masyarakat, termasuk komoditas nonsubstitusi bawang merah. Untuk menggenjot produksi di tengah kenaikan harga benih asal umbi pada musim tanam tahun ini, penggunaan benih biji menjadi pilihan terbaik.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto saat dihubungi, Sabtu (20/6) lalu, menegaskan pihaknya intensif mendorong penanaman bawang merah sekaligus memberikan stimulus APBN di daerah-daerah pengembangan baru.
“Kita dorong pengembangan bawang merah terutama di pulau-pulau atau daerah yang selama ini dipetakan defisit. Tujuannya agar daerah tersebut mampu memproduksi, setidaknya untuk kebutuhannya sendiri. Lebih bagus kalau bisa mendukung pasokan wilayah sekitarnya,” ujar pria yang akrab disapa Anton tersebut, dalam siaran persnya.
Menurut Anton, bulan ini para petani bawang merah di berbagai sentra utama seperti Brebes, Pantura Jawa dan Nganjuk sedang memasuki musim tanam raya. Di tengah kekhawatiran tingginya harga benih bawang merah, pihaknya mendorong petani untuk menanam benih biji atau dikenal dengan True Shallot Seed (TSS).
"Harga benih biji jauh lebih murah, produktivitasnya juga bagus. Memang butuh upaya dan waktu ekstra dibanding pakai benih umbi. Tapi ini adalah solusi di tengah mahalnya harga benih umbi bawang merah belakangan ini," tandasnya.
Senada, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraha menyebut pihaknya terus memacu produksi bawang merah terutama di bulan-bulan yang diprediksi mengalami neraca defisit.
"Berdasarkan Early Warning System, secara kumulatif produksi nasional bawang merah mencukupi kebutuhan selama setahun. Hanya di bulan-bulan tertentu pasokannya perlu diantisipasi sejak dini, terutama di bulan Oktober hingga Desember 2020 nanti,” ujarnya.
“Kalau sudah begini, perlu intervensi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu caranya ya kita alihkan petani menggunakan benih (bawang merah) biji,” tambah Tommy lugas.
Tidak tanggung-tanggung, pihaknya bahkan fokus untuk seluruh kawasan bawang merah yang difasilitasi APBN tahun ini seluas lebih dari 1.000 hektare (ha) untuk menggunakan benih biji. Terlebih saat ini harga benih umbi khususnya jenis Bima Brebes dinilai sangat tinggi hingga mencapai lebih dari Rp 70 ribu per kilogram (kg).
"Jika (harga) benih segitu maka akan berimbas ke tingginya biaya produksi, “ tegas tommy.
Mengantisipasi kelangkaan dan mahalnya harga benih umbi bawang merah terutama di wilayah sentra sepanjang pantura, Kementan langsung menerjunkan Tim ke lapang untuk mensosialisasikan benih biji. Mutiara Sari, Kasubdit Bawang Merah dan Sayuran Umbi mengatakan penggunaan benih biji sebagai salah satu cara mengefisienkan biaya produksi.
“Beberapa bulan terakhir harga bawang merah terus menguat, akibatnya harga benih umbi ikut terkerek naik. Untuk kebanyakan petani harganya sudah tidak terjangkau sehingga sebagian memilih tunda tanam atau beralih tanam komoditas lain. Kalaupun dipaksakan tanam, biayanya jadi tidak efisien. Jadi sekarang momen yang tepat untjk beralih ke benih bawang merah biji,” ujar Mutiara saat melakukan supervisi bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Tim lapang Kementan diketahui turut membagikan bantuan benih biji untuk wilayah Indramayu dan Cirebon. Salah seorang petani bawang merah di Brebes yang juga aktif membudidayakan bawang merah biji selama lebih dari 10 tahun, Iyus, menyatakan bahwa banyak petani yang enggan untuk beralih ke benih biji karena kendala saat persemaian.
“Memang di Brebes ini kebanyakan petani masih tergantung benih umbi karena belum terbiasa melakukan persemaian. Kalau sudah bisa sih sebenarnya mudah, memang lebih intensif saja perawatannya saat persemaian tapi total biaya produksinya jauh lebih murah dibanding bawang merah umbi. Hasilnya juga lebih menguntungkan,” ujarnya.
Jenis bawang merah biji yang banyak dikembangkan petani saat ini adalah varietas Lokananta, yang mampu menghasilkan 15-18 ton per hektare, atau lebih tinggi dibandingkan bawang merah umbi di Brebes yang rata-rata menghasilkan 10-12 ton per ha. Hanya saja budidaya bawang merah biji butuh tambahan waktu persemaian sekitar 42 hari sehingga total sampai panen sekitar 100 hari.
Juwari, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia yang juga penangkar bawang merah mengaku telah mencoba menanam bawang merah biji varietas Lokananta. “Memang bentuk umbinya lebih membulat, tidak seperti bawang merah asal umbi yang cenderung lonjong. Akan tetapi bawang seperti ini sangat disukai konsumen di Thailand dan Vietnam. Kalau produksinya bisa mencapai 1000 ton tiap tahun, bisa kita ekspor. Permintaannya dari luar negeri sangat tinggi untuk jenis bawang merah seperti ini,” pungkasnya yakin.
Diberitakan sebelumnya, Kementan melalui Early Warning System atau EWS mensinyalir akan ada penurunan produksi di bulan Oktober-Desember ini. Sehingga upaya Intervensi percepatan tanam di bulan Juni-Juli serta menggenjot produksi untuk pengamanan konsumsi masyarakat dan juga ekspor harus segera dilakukan. Di tengah tingginya harga benih umbi, Kementan mengambil langkah strategis untuk mendorong petani beralih ke benih biji atau TSS yang diketahui lebih murah dan juga menguntungkan.