REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso, mengatakan, masa krisis menjadi momentum bagi Indonesia untuk meredesain arsitektur ekonomi. Menurutnya hal ini sudah seharusnya dilakukan sejak dulu, terutama pada masa krisis tahun 1997/1998.
"Sudah selayaknya kita meredesain tatanan ekonomi, bahkan mungkin juga tatanan hukum, dan tatanan sektor keuangan," ujarnya dalam keterangan persnya, Senin (1/6).
Wimboh memaparkan hal tersebut dalam seminar daring KAGAMA Inkubasi Bisnis X bertajuk “Best Practice Manajemen Krisis: Membangun Network dan Potensi Funding untuk Melewati Masa-masa Sulit”. Acara yang diikuti 620 peserta tersebut diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (PP KAGAMA).
Dalam paparannya, Wimboh menjelaskan, setiap negara memiliki kondisi budaya, ekonomi dan kerangka hukum yang berbeda-beda, sehingga respon terhadap pandemi Covid-19 pun berbeda pula. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia kata Wimboh, masih berada di level "merangkak ke atas". Penting bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengontrol hal ini.
"Kalau sekarang kondisi pasar modal terkena sentimen negatif, tapi pasar modal memiliki pandangan ke depan yang kuat. Namun, di sektor riil-nya, Indonesia masih melangkah," tutur Wimboh.
Alumnus Universitas Illinois ini mengungkapkan, sektor riil yang masih lemah itu ditunjukkan dengan laporan Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal I 2020, hanya 2,97 persen. Persentase ini mengalami penurunan dibandingkan triwulan IV tahun 2019.
"Ini di luar dugaan, kami prediksikan ekonomi tumbuh di angka 4. Tetapi ternyata turun drastis.”
"Meskipun demikian, Indonesia masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif dibandingkan negara lain walaupun rendah persentasenya," terangnya.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan, sudah seharusnya berpikir out of the box. Menurut Wimboh, Indonesia tak bisa menjalankan roda bisnis seperti di masa normal.
Belum lama ini, pemerintah telah mengeluarkan PERPPU No.1 Tahun 2020 sehingga memberi ruang bagi semua kepentingan untuk bisa fleksibel dalam mengambil kebijakan keuangan. Perpu ini juga ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 23 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional.
Perpu tersebut meliputi penetapan defisit anggaran hingga lebih dari 3 persen. BI dimungkinkan membeli obligasi pemerintah dan surat berharga di pasar primer, serta OJK dapat melakukan intervensi lebih awal terkait pengawasan dan eksekusi.
OJK yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan, bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS sudah diberikan kewenangan untuk mengambil kebijakan preemptif. Terakhir, LPS diizinkan memperluas skema penjaminan simpanan dan mengumpulkan dana dari publik lewat penerbitan obligasi.
"Di masa pandemi ini kita mengusahakan untuk bergerak cepat. Jangan sampai ada instabilitas di sektor jasa keuangan," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Executive Director International Monetary Fund (IMF) itu.
Seluruh pemangku kepentingan, kata WImboh, harus sinergi. Saat ini, sektor informal (mikro, ultra mikro, dan UMKM) yang paling terdampak, karena rata-rata mereka bekerja dengan tujuan utama untuk makan, sehingga sektor ini menjadi prioritas yang harus ditangani.
Pemerintah sudah melakukan perluasan bantuan sosial, relaksasi kredit, memberikan subsidi bunga, dan sebagainya. Begitu juga dengan BI yang sudah menjaga likuiditas di pasar, sehingga sektor keuangan stabil. Nasabah yang mengajukan kredit di bank kini tak bisa mengangsur dan diberikan relaksasi. Di sektor keuangan, OJK melarang perbankan melakukan penagihan melalui debt collector kepada nasabah di masa pandemi.
"Hal ini dilakukan supaya masyarakat bisa tenang, tetap bisa makan. Kita sudah memberikan insentif kepada lembaga keuangan lewat restrukturisasi kredit dan subsidi bunga," jelas pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah ini.
Restrukturisasi paling utama ditujukan untuk kredit-kredit kecil UMKM. Sedangkan untuk perbankan, OJK dan Kemenkeu menyiapkan penyangga likuiditas perbankan, supaya tetap bisa membayar kewajibannya kepada pemegang deposito dan tabungan, terlebih lagi jika ada nasabah yang ingin menarik uang di bank.
"Skemanya sudah disiapkan, likuiditas pasar akan kita jaga, likuiditas dan fasilitas BI tetap jalan.”
"Apabila fasilitas yang ada tidak mampu membantu, maka OJK akan menyediakan likuiditas yang disalurkan melalui bank-bank besar. Ini hanya sebagai amunisi bagi perbankan supaya tetap kuat," tuturnya.
Bahkan, lanjut Wimboh, BI memberikan keleluasaan kepada bank penerima bantuan likuiditas, jikalau tak bisa mengembalikan uang, maka pembayaran akan dilakukan autodebit pada uang tersebut.
Wimboh berujar, restrukturisasi untuk bank-bank yang memberikan kredit kepada UMKM sudah dilakukan. Kini tugas berikutnya bagi OJK dan pemangku kepentingan terkait adalah membantu para pengusaha menengah. Momentum krisis adalah momentum bagus. Jangan sampai dana yang dikeluarkan pemerintah, uang nya tidak menimbulkan multiplier di masyarakat. Nanti uangnya balik ke sistem, balik ke BI.