Sabtu 30 May 2020 01:29 WIB

Trump Anggap Fitur Periksa Fakta Batasi Kebebasan

Trump Anggap Fitur Periksa Fakta Batasi Kebebasan, Ahli Hukum Tak Sependapat

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Trump Anggap Fitur Periksa Fakta Batasi Kebebasan di Internet, Ahli Hukum Tak Sependapat!!. (FOTO: people-trak.com)
Trump Anggap Fitur Periksa Fakta Batasi Kebebasan di Internet, Ahli Hukum Tak Sependapat!!. (FOTO: people-trak.com)

Warta Ekonomi.co.id, Bogor

Pemerintah Amerika Serikat (AS), khususnya Presiden Donald Trump, berniat mencabut wewenang media sosial dalam memoderasi pembicaraan pengguna di platform daring.

Sebab, Donald Trump menganggap fitur periksa fakta di media sosial sebagai pembatasan kebebasan berekspresi, setelah cuitannya mendapat peringatan memuat disinformasi.

"Sebagai Presiden, saya menegaskan komitmen untuk debat bebas dan terbuka di internet. Di negara yang telah lama menghargai kebebasan berekspresi, kami tak dapat ingin situs medsos mengurasi konten yang orang Amerika sampaikan di dunia maya," ujar Trump, dilansir dari Business Insider, Jumat (29/5/2020).

Baca Juga: Hadapi Masa Sulit, Investor Tokopedia Kembali Jual Saham Demi Bayar Utang

Untuk itu, Trump menyerukan pencabutan perlindungan wewenang terhadap medsos jika platform mendiskriminasi pengguna ataupun membatasi akses tanpa pemeriksaan yang adil.

Tiap kepala departemen eksekutif dan agensi juga mesti meninjau pengeluaran iklan dan pemasaran di situs medsos. Seruan juga mengarahkan Komisi Perdagangan Federal untuk, "menindak praktik penipuan ataupun hal yang bertentangan dengan persyaratan."

Presiden sementara Asosiasi Internet, Jon Berroya yang mewakili berbagai perusahaan teknologi, seperti Google, Facebook, dan Twitter mengatakan, "arahan itu tak sesuai dengan tujuan UU Komisi Komunikasi Federal bagian 230. Itu artinya (Trump) melemahkan berbagai upaya pemerintah untuk melindungi keselamatan publik dan menyebarkan informasi penting lewat media sosial."

Sementara itu, Pakar Kebijakan Hukum dan Teknologi Kate Klonick dari Universitas Saint John menilai, beberapa bagian dari rancangan perintah eksekutif sama sekali tak legal.

"Sepertinya tak bisa diterapkan, malah akan segera dikonfrontasi oleh pengadilan," tambahnya.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement