REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ratna Komalasari (Peneliti Sakinah Finance) dan Murniati Mukhlisin (Founder Sakinah Finance/Rektor Institut Tazkia/Pembina Asosiasi FinTech Syariah Indonesia)
Walau semua pada sibuk menghadapi masalah Covid-19, tetap juga kita sibuk bicara soal apalagi tentang FinTech yang semakin berkembang. Setelah produk-produk FinTech seperti P2P Lending, Market Aggregator, Manajemen Investasi dan Risiko juga Payment sekarang muncul rookie FinTech yaitu metode pembayaran “Paylater” – “Bayarnanti”.
Ada yang bertanya bagaimana dari sisi syariah, bagaimana risikonya dan beberapa pertanyaan lainnya. Kalau kamu pengguna aplikasi-aplikasi seperti Traveloka, Gojek, Shopee dan aplikasi lainnya khas millennials pasti pernah ditawari untuk mengaktifkan fitur Paylater di salah satu aplikasi tersebut atau beberapa aplikasi lainnya.
Pengguna Paylater di Indonesia secara statistik terus meningkat cukup signifikan misalnya Traveloka yang pada akhir tahun 2019 lalu mengklaim ada kenaikan sebesar 10 persen pada jumlah pengguna Paylater dari tahun sebelumnya. Sedangkan gopay mengalami kenaikan sebesar 14 persen pada tahun 2020 dari tahun 2019.
Kedua fakta tersebut bisa menjadi overview bagaimana respon dan minat pasar terhadap metode Paylater ini. Sifat dari Paylater ini mirip dengan kartu kredit seperti adanya diskon, cicilan, cadangan ketika dalam keadaan darurat.
Payment Khas FinTech ‘Teranyar’
Mulanya perusahaan yang pertama kali memperkenalkan Paylater adalah Traveloka yang diberi nama Traveloka Paylater dengan slogan “Liburan kapan saja bayarnya belakangan”. Slogan tersebut menggambarkan kemudahan yang ditawarkan oleh Traveloka untuk pembelian dan pembayaran akomodasi perjalanan.
Traveloka bukan satu-satunya perusahaan FinTech yang menyediakan fitur Paylater. Ada juga Gopay, Ovo, dan Shopee yang juga menawarkan fitur serupa. Tetapi dari masing-masing fitur tersebut ada beberapa perbedaan yang spesifik terutama pada limit, bunga, tenor dan jumlah denda apabila terjadi keterlambatan pembayaran cicilan.
Dari tabel di atas ada beberapa perusahaan tersebut kita jadi mengetahui bagaimana pola dari Paylater ini ternyata sangat mirip dengan kartu kredit. Hal baru yang ditawarkan oleh Paylater ini adalah semuanya dilakukan secara digital. Misalnya ada ketentuan tertentu untuk mengaktivasi penggunaan Paylater ini.
Halal + Cerdas Menggunakan Paylater
Paylater ini pada dasarnya memang sangat memudahkan apalagi memiliki limit yang relative besar juga fitur-fitur lain seperti diskon dan cashback yang ditawarkan jika menggunakan Paylater. Tapi bagaimana padangan syariah terhadap fitur Paylater ini? Boleh nggak ya pakai Paylater untuk kebutuhan sehari-hari?
Hingga saat ini, belum ada Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Paylater secara syariah. Tetapi jika dilihat dari karakteristiknya, sistem Paylater mirip dengan kartu kredit, sehingga bisa merujuk ke Fatwa 54/DSN-MUI/X/2006. Inti fatwa adalah merchant dilarang mengenakan bunga, tetapi boleh mengadakan fee penjaminan bank atas kewajiban nasabah terhadap merchant, fee keanggotaan dan mengenakan denda berupa dana sosial jika terlambat membayar.
Menurut Dr. Oni Syahron, Anggota DSN-MUI untuk membatasi apa dan bagaimana fitur Paylater ini bisa menjadi transaksi yang diperbolehkan secara syariah harus memenuhi minimal tiga syarat lain yaitu:
Pertama: Digunakan untuk transaksi yang diperbolehkan secara syariah
Baik Paylater ataupun bentuk transaksi keuangan lainnya tetap dinyatakan halal atau boleh secara syariah selama menggunakan akad-akad yang diperbolehkan dalam Islam. Misalnya dalam transaksi kemitraan digunakan akad musyarakah, dalam pembiayaan pertanian akad muzaraah atau akad jual beli barang secara cicilan dengan akad murabahah.
Kedua: Terhindar dari transaksi ribawi
Berbicara mengenai Paylater tentu sangat bersinggungan dengan riba, karena, objek dari pembayaran adalah uang yang ada tambahannya. Jika transaksi Paylater masih melibatkan persentase bunga maka menjadi sesuatu yang dilarang oleh syariah. Pada kasus Paylater, riba muncul pada bunga dalam cicilan. Tetapi jika skema dari cicilan diubah tambahannya menjadi akad ujroh kepada penyedia jasa atau margin jual beli barang maka diperbolehkan.
Ketiga: Sesuai dengan Undang-undang juga otoritas Fatwa seperti DSN-MUI
Lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan fatwa di Indonesia adalah MUI. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sudah dikaji oleh para ulama yang ahli dalam bidangnya. Fungsi fatwa adalah sebagai panduan baik bagi konsumen maupun produsen dalam melakukan transaksi supaya berada dalam koridor syariah.
Walaupun hingga saat ini kami belum menemukan kasus pelanggan yang terjerat hutang akibat fitur Paylater, kami dari Sakinah Finance menghimbau agar senantiasa selektif dalam berbelanja, pilih gaya hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak mubazir (israf, tabdzir). Untuk para penyedia jasa Paylater, segera meminta panduan dari DSN-MUI untuk akad Paylater Syariah agar menjadi platform bagi yang menginginkan akad syariah. Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!