REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak berjangka Brent anjlok lagi pada akhir perdagangan Selasa (21/4) atau Rabu (22/4) pagi WIB. Kejatuhan harga ini memperpanjang kepanikan di pasar minyak global pada hari kedua, menyusul meningkatnya banjir pasokan minyak mentah global karena pandemi virus corona telah melenyapkan permintaan bahan bakar.
Senin (20/4) dan Selasa (21/4) menjadi dua hari yang paling bergejolak dalam sejarah perdagangan minyak ketika investor menghadapi kenyataan bahwa pasokan di seluruh dunia akan membanjiri permintaan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sementara itu, pemotongan produksi saat ini untuk mengimbanginya jauh dari cukup.
Setelah perdagangan Senin (20/4), ketika kontrak AS untuk Mei jatuh ke wilayah negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah, Selasa (21/4) menetapkan tonggak baru ketika lebih dari 2 juta kontrak minyak mentah AS untuk pengiriman Juni berpindah tangan. Hari itu menjadi hari tersibuk dalam sejarah, menurut operator bursa CME Group.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni ditutup anjlok 24 persen menjadi 19,33 dolar AS per barel, terendah sejak Februari 2002. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk penyerahan Juni terperosok 8,86 dolar AS atau 43 persen, menjadi menetap di 11,57 dolar AS per barel.
Kontrak AS untuk Mei, yang berakhir pada Selasa (21/4), pulih dari kejatuhan yang dalam ke wilayah negatif, naik menjadi 10,01 dolar AS dari perdagangan hari sebelumnya di minus 37,63 dolar AS.
Persediaan minyak telah meningkat selama berpekan-pekan setelah Arab Saudi dan Rusia pada awal Maret gagal mencapai kesepakatan tentang perpanjangan pengurangan produksi ketika pandemi virus corona makin memburuk. Sejak saat itu, penyebaran pandemi telah mengurangi permintaan bahan bakar sekitar 30 persen di seluruh dunia.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu-sekutunya, termasuk Rusia, akhirnya mengumumkan pengurangan produksi pada awal April, yang berjumlah hampir 10 persen dari pasokan global. Namun, dengan ekonomi hampir macet karena penguncian virus corona, hal itu tidak cukup untuk mengimbangi penurunan permintaan.
Baik Arab Saudi maupun Rusia mengatakan pada Selasa (21/4) mereka siap untuk mengambil langkah-langkah tambahan guna menstabilkan pasar minyak bersama dengan produsen lain. Namun, mereka belum mengambil tindakan.
“Matematikanya cukup sederhana. Produksi minyak saat ini sekitar 90 juta barel per hari, tetapi permintaan hanya 75 juta barel per hari,” kata Gregory Leo, kepala investasi dan kepala manajemen kekayaan global IDB Bank.
Sementara itu, di Texas, regulator minyak dan gas menolak untuk memaksa produsen mengurangi produksi minyak. Texas Railroad Commission, yang mengatur perusahaan energi di negara bagian itu, telah mempertimbangkan untuk melakukan intervensi di pasar untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun.
"Texas mengambil keputusan mereka dengan OPEC tidak menunjukkan urgensi. Itu berarti dunia akan kehabisan ruang untuk menyimpan minyak pada pekan kedua Mei," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA, di New York.
Pusat penyimpanan utama AS di Cushing, Oklahoma, titik pengiriman untuk WTI, diperkirakan akan penuh dalam beberapa pekan. Data resmi Pemerintah AS menunjukkan bahwa penyimpanan di Cushing hanya 70 persen penuh pada pertengahan April. Namun, para pedagang mengatakan bahwa apa pun yang tersisa saat itu telah dibicarakan oleh perusahaan-perusahaan yang mengirim minyak ke pusat penyimpanan sekarang.
Presiden AS Donald Trump meminta pemerintah untuk menyediakan dana bagi industri minyak dan gas AS, menyebut kejatuhan Senin (20/4) sebagai "tekanan finansial" dan menghentikan impor dari Saudi. Persediaan minyak mentah AS naik 13,2 juta barel dalam sepekan yang berakhir 17 April menjadi 500 juta barel, sementara data dari kelompok industri American Petroleum Institute (API) menunjukkan pada Selasa (21/4). Analis memperkirakan penambahan 13,1 juta barel. Data resmi pemerintah akan dirilis pada Rabu waktu setempat.