REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri manufaktur menilai, pemberlakuan harga gas industri di level 6 dolar AS per juta Metrik British Thermal Unit (MMBTU) merupakan angin segar di tengah dampak pandemi Covid-19. Sebab, industri manufaktur merupakan sektor yang terimbas serius pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono, menyatakan, penurunan harga gas industri sangat membantu keberlangsungan industri petrokimia. Harga gas tersebut akan menurunkan harga jual produk sekitar 2 dolar AS per ton, sehingga mampu bersaing terhadap produk impor, terutama dari luar Asean.
"Penurunan (harga gas) ini akan memperkuat daya saing untuk ekspor," kata Fajar melalui siaran pers pada Rabu, (15/4).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Bonar Sirait pun menyambut gembira penurunan harga gas itu. Ia berterima kasih atas terbitnya kebijakan penurunan harga gas yang sudah sangat lama ditunggu.
Menurutnya, hal ini menjadi keputusan sangat tepat dan akan membuat sektor industri dapat bersaing lebih baik lagi. "Apalagi di tengah pandemi Covid-19, terjadi kondisi force majeure bagi seluruh industri. Kebijakan turunnya harga gas akan membuat industri dapat napas baru," ujar Bonar.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan, terbitnya kebijakan penurunan harga gas industri akan diapresiasi setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih banyak dari sektor industri pengguna gas bumi. Sebab, daya saing mereka sangat bergantung pada keekonomian energi gas bumi.
"Ini membuktikan komitmen dan keberpihakan pemerintah terhadap dukungan sektor industri manufaktur. Industri manufaktur sebagai sektor riil yang berdampak ganda dan terus memutar roda perekonomian," kata Yustinus.
Yustinus yakin sektor industri manufaktur pengguna gas bumi bisa bangkit dan berkontribusi lebih banyak pada perekonomian nasional. Bahkan semakin kuat untuk reindustrialisasi dengan memasok kebutuhan domestik dan ekspor.