Senin 30 Mar 2020 06:19 WIB

Ekonom: Perhitungan Kemanusiaan Harus Diprioritaskan

Pemerintah harus menerapkan kebijakan at all cost dalam menangani pandemi Covid-19.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Petugas medis melakukan pengecekan alat di ruang isolasi yang digunakan untuk merawat pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bung Karno, Solo, Jawa Tengah, Jumat (27/3/2020). Pemerintah Kota Solo menyiapkan rumah sakit tersebut sebagai tambahan rujukan penanganan Virus Corona atau COVID-19 dengan empat ruang isolasi yang khusus diperuntukan bagi pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pengawasan (ODP) yang membutuhkan perawatan medis
Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Petugas medis melakukan pengecekan alat di ruang isolasi yang digunakan untuk merawat pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bung Karno, Solo, Jawa Tengah, Jumat (27/3/2020). Pemerintah Kota Solo menyiapkan rumah sakit tersebut sebagai tambahan rujukan penanganan Virus Corona atau COVID-19 dengan empat ruang isolasi yang khusus diperuntukan bagi pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pengawasan (ODP) yang membutuhkan perawatan medis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menganjurkan pemerintah harus menerapkan kebijakan at all cost (bagaimanapun caranya) mempercepat pengobatan dan pencegahan penularan virus corona (Covid-19) lebih luas.

Termasuk di antaranya, pengadaan alat kesehatan penunjang pemeriksaan, ruang isolasi, dan Alat Pelindung Diri (APD). Selain itu, menggratiskan biaya pemeriksaan baik yang terbukti maupun tidak.

Baca Juga

"Ataupun hal-hal yang bersifat pencegahan seperti pembagian masker murah dan sebagainya," kata Faisal dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (29/3).

Kebijakan ini memang akan membebani pemerintah dan berpotensi menimbulkan konsekuensi pembengkakan defisit anggaran sejalan dengan pendapatan APBN yang juga turun tajam. Namun, Faisal menekankan, perhitungan kemanusiaan semestinya harus lebih dikedepankan dibandingkan kalkulasi ekonomi yang masih dapat ditanggulangi sejalan dengan pulihnya ekonomi masyarakat.

Pemerintah harus membuka peluang untuk membuat terobosan kebijakan baru. Di sisi fiskal, opsi pelebaran defisit anggaran melebihi yang batas yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 203 tentang Keuangan Negara diperlukan. Hal ini mengingat semakin banyaknya kebutuhan belanja negara untuk memberikan insentif kepada perekonomian.

Di sisi moneter, Faisal mengatakan, otoritas keuangan Indonesia perlu mencontoh otoritas moneter beberapa negara yang aktif terjun memberikan insentif. Khususnya ketika kebijakan suku bunga acuan dan beragam kebijakan konvensional tidak bekerja secara optimal seperti sekarang.

"The Fed sendiri misalnya mempunyai kebijakan Quantitative Easing untuk menginjeksi likuiditas ke masyarakat," ujar Faisal.

Terobosan yang bisa dilakukan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yaitu merevisi Peraturan Bank Indonesia no/10/13/PBI/2008 ataupun Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Yakni dengan memberikan keleluasaan BI untuk membeli SUN di pasar keuangan primer untuk mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara.

Di sisi lain, pemerintah juga sebaiknya memperluas relaksasi Pajak Penghasilan (PPH) untuk pekerja dan badan yang sekarang baru berlaku pada sektor manufaktur. Perluasan dilakukan mengingat perlambatan ekonomi tidak hanya dirasakan sektor pengolahan, juga banyak sektor.

Oleh karena itu, Faisal mengatakan, pemerintah perlu melakukan relaksasi pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor lain. "Khususnya yang terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement