Senin 09 Mar 2020 13:14 WIB

Harga Minyak Anjlok 30 persen karena Perang Harga

Harga acuan berjangka minyak Brent anjlok ke level terendah 31 dolar AS.

Rep: Intan Pratiwi/Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolandha
Harga minyak jatuh 30 persen di Asia pada Senin (9/3) karena adanya awal dari perang harga.
Foto: Republika/Wihdan
Harga minyak jatuh 30 persen di Asia pada Senin (9/3) karena adanya awal dari perang harga.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Harga minyak jatuh 30 persen di Asia pada Senin (9/3) karena adanya awal dari perang harga. Pengekspor minyak utama Arab Saudi memangkas harga minyak pada akhir pekan setelah gagal meyakinkan Rusia pada hari Jumat (6/3) untuk mendukung penurunan produksi yang tajam.

Kartel minyak OPEC dan sekutunya, Rusia, sebelumnya bekerja bersama dalam pembatasan produksi. Dilansir di BBC, Senin (9/3) disebutkan, acuan berjangka minyak Brent anjlok ke level terendah 31,02 dolar AS per barel pada Senin, di pasar energi volatile.

Baca Juga

Harga minyak telah jatuh sejak Jumat, ketika 14 anggota OPEC yang dipimpin Arab Saudi bertemu dengan sekutu-sekutunya Rusia dan anggota non-OPEC lainnya. Mereka bertemu untuk membahas bagaimana menanggapi penurunan permintaan yang disebabkan oleh penyebaran virus corona.

Tetapi kedua pihak gagal menyepakati langkah-langkah untuk memotong produksi sebanyak 1,5 juta barel per hari. Hal itu menyebabkan Brent turun di bawah dolar AS per barel pada Jumat.

Dengan produksi minyak global sekarang jauh melampaui permintaan, analis minyak Martjin Rats dari Morgan Stanley mengatakan anggota OPEC sekarang diharapkan untuk memompa lebih banyak minyak untuk menangkap pangsa pasar.

"Mengingat negara-negara OPEC sekarang memiliki insentif yang sangat sedikit untuk menahan produksi, pasar minyak terlihat kelebihan pasokan yang tajam," kata Rats.

Secara keseluruhan, terakhir kalinya harga minyak berada di level ini yakni pada Januari 2016, dan mendekati level terendah 16 tahun. Analis energi Vandana Hari, dari perusahaan riset Vanda Insights, mengatakan pasar terkejut dengan ketidaksepakatan mengenai pengurangan produksi antara OPEC dan Rusia, yang dikalahkan AS tahun lalu sebagai produsen top dunia.

"Runtuhnya aliansi OPEC / non-OPEC merupakan kejutan besar bagi pasar minyak, dan itu disertai dengan tantangan tambahan bahwa kita tidak memiliki gambaran lengkap tentang apa yang ada di depan," kata Hari. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement