REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadiningdyah menuturkan, sukuk tabungan (ST) yang diterbitkan tahun ini akan kembali mengusung sukuk hijau ritel. Setidaknya, dua instrumen green sukuk retail akan diterbitkan sampai akhir tahun.
Dwi menyebutkan, dua ST tersebut akan menjadi sukuk hijau kedua dan ketiga keempat yang diterbitkan di dalam negeri. Seri pertama sudah diterbitkan pada November dengan seri ST006.
"Emisi tiap sukuk hijau yang diterbitkan nanti berkisar antara Rp 3 triliun sampai Rp 5 triliun," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (1/3).
Dwi mengakui, tantangan terbesar saat ini adalah ketulusan investor untuk melihat sukuk hijau ritel sebagai upaya penurunan emisi karbon dan mengatasi perubahan iklim. Sebab, masyarakat Indonesia masih price sensitif atau lebih melihat harga sebagai faktor pembelian instrumen investasi.
"Kalau yield terus turun, biasanya minat investor individu akan terpengaruh. Investor belom tulus melihat apakah ini hijau atau tidak," tutur Dwi.
Penerbitan green sukuk, Dwi mengatakan, membantu pemerintah mewujudkan komitmen untuk menurunkan emisi karbon 2030 sebesar 29 persen dengan business as usual, atau 41persen dengan bantuan luar negeri atau pihak lain.
Green sukuk sebenarnya sama saja dengan penerbitan sukuk biasa karena sama-sama membutuhkan dana. Hanya saja, efek penerbitannya berbeda, terutama dari sisi lingkungan.
Sepanjang tahun, Kemenkeu berencana menerbitkan tiga instrumen surat berharga syariah, yakni satu sukuk ritel (SR) dan dua ST. Jumlah ini hampir dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, di mana penerbitan sukuk ritel satu kali dan sukuk tabungan hingga empat kali.
Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari kejenuhan investor terhadap instrumen investasi berbasis syariah yang ditawarkan pemerintah. Penurunan jumlah lelang dilakukan berdasarkan evaluasi pada tahun lalu. Semakin mendekati penghujung tahun, hasil penjualan instrumen investasi ritel yang ditawarkan Kemenkeu mengalami penurunan.
"Tapi, kita faktornya belum tahu persis. Apakah karena penurunan yield yang menyebabkan mereka (penjualan) turun atau memang mereka (investor) sedikit jenuh," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Kamis (23/1).