REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengguna internet di Tanah Air pada tahun 2020 ini hampir menembus 200 juta orang. Selalu ada akibat positif maupun negatif dari hal ini. Hal positif tentunya teknologi di ruang siber membuat semua menjadi serba mudah, adanya aplikasi dan platform pendukung lain di internet.
Lalu ada juga akibat negatif, mulai dari masalah keamanan siber sampai pada ketergantungan kita pada aplikasi asing. Semua masalah akhirnya bermuara pada perang data, jual beli data dan bahkan manipulasi data.
“Ekstremnya pada satu titik, data yang dihimpun dari wilayah siber akan menjadi senjata bagi entitas negara maupun korporasi multinasional. Akibatnya, jelas menjadi ancaman bagi masyarakat dan juga negara kit,” kata pakar keamanan siber, Pratama Persadha.
Ia mengemukakan hal tersebut di Seminar Nasional Keamanan Siber Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Kamis (27/2). Menurut Pratama Persadha, solusi ruang siber Indonesia adalah kampus, dan dinamika siber dunia tidak bisa hanya dihadapi oleh negara sendirian.
“Kampus jelas bisa melakukan edukasi siber, bahkan bisa menghasilkan SDM siber yang dibutuhkan negara. Dalam hal riset siber, kampus juga bisa menghasilkan produk yang kuat seperti platform yang sudah ada, menjadi pesaing serius platform dari luar negeri,” jelas chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC itu dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan, hal pertama yang bisa dilakukan kampus adalah edukasi. Baik untuk masyarakat kampus, maupun masyarakat umum.
Karena itu, seharusnya negara dan juga para pelaku industri bisa menggandeng kampus untuk melakukan edukasi keamanan siber.
“Bila edukasi keamanan siber lewat kampus, maka bisa mengurangi jumlah korban kejahatan siber seperti yang sering terjadi. Mulai dari phising, wifi sniffing sampai pada social engeneering,” jelas pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.
Pakar keamanan siber, Pratama Persadha (kanan) menerima kenan-kenangan seusai menjadi nara sumber Seminar Nasional Keamanan Siber Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Kamis (27/2).
Pratama menambahkan, salah satu hal paling penting adalah kebutuhan SDM siber bisa dimaksimalkan dari kampus. Digitalisasi terjadi di semua sektor, karena itu dibutuhkan SDM yang melek IT dan mempunyai kemampuan mumpuni, sehingga tidak bergantung pada SDM luar.
Pemerintah sendiri, melalui Kominfo, sudah ada program Digital Talent sejak 2019. Hal yang wajib dimaksimalkan, kerja sama pemerintah dengan kampus.
“Dengan adanya SDM siber yang mumpuni dari kampus, pada akhirnya tidak hanya menghadirkan angkatan siap kerja saja, tapi juga individu yang bisa melahirkan produk dan lapangan kerja. Gojek, Tokopedia, Bukalapak dan Traveloka sudah menjadi contoh keberhasilan produk dalam negeri,” terangnya.
Pratama menegaskan, sangat penting negara membantu industri siber dalam negeri berkembang. Kampus bisa menjadi kawah candradimuka riset siber Tanah Air. “Dikoneksikan dengan dunia industri untuk pembiayaan riset dan membantu proses masuk dunia industri, di sini fungsi negara sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Teknik Unimus, RM Bagus Irawan menjelaskan, masyarakat kampus sangat perlu melakukan shifting ke dunia digital. Mulai dari sistemnya, kurikulum sampai pada output SDM yang melek siber. “Bahkan mahasiswa non informatika juga diharapkan sangat aware dengan keamanan siber,” tuturnya.