REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona merah pada perdagangan Kamis (27/2). Indeks saham melemah 2,69 persen atau turun 153,22 poin, dan jatuh ke posisi 5.535,69.
Selama satu bulan terakhir, IHSG terus mengalami tren penurunan hingga 10,14 persen atau tergerus 597,51. Pada Januari lalu, IHSG sempat menyentuh posisi tertinggi di level 6.329,31.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Hasan Fawzi, mengakui penurunan dalam beberapa waktu belakang ini cukup signifikan. Tidak hanya di Indonesia, hal yang sama juga dialami hampir seluruh bursa saham di dunia.
Hasan melihat, faktor utama dari pelemahan ini yaitu perkembangan penyebaran virus corona. Hasan mengatakan virus ink menyebabkan penurunan signifikan indeks-indeks dunia.
"Nikkei hari ini mengalami penurunan signifikan di atas 2 persen, Dow jones juga mencatatkan rekor penurunan tertinggi dalam dua hari berturut-turut," kata Hasan, Kamis (27/2).
Hasan mengapresiasi langkah pemerintah dalam merespons penyebaran virus ini. Beberapa kebijakan sudah diterbitkan dalam rangka mengantisipasi dampak global terhadap beberapa sektor industri sensitif sepeti kebijakan pariwisata, fiskal dan moneter.
Hasan mengatakan, Bursa dengan otoritas akan mencermati perkembangan dampak penyebaran virus ini dari waktu ke waktu. Menurut Hasan, Bursa telah dilengkapi dengan protokol yang diperlukan apabila terjadi penurunan hingga batas toleransi.
"Penurunan saat ini belum mencapai batas yang dimaksud. Tindakan awal akan dilakukan saat 5 persen penurunan. langkah meredam kejatuhan pasar akan dilakukan jika penurunan di angka 10 persen," terang Hasan.
Hasan mengatakan, penyebaran virus ini harus terus diwaspadai karena tidak hanya berdampak terhadap perusahaan tercatat, tetapi juga akan berdampak pada industri di berbagai sektor.
Senada, analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama melihat penyebaran virus corona secara agresif sepertinya masih memberikan dampak sistemik bagi pasar. Hal itu seiring dengan peningkatan tajam infeksi virus tersebut yang terjadi pada Korea Selatan, Italia dan Iran.
"Penyebaran virus itu berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi global apabila masih belum ditemukan obat antivirus-nya," kata Nafan.
Di sisi lain, lanjut nafan, perkembangan data-data makroekonomi domestik masih minim positive high market impact saat ini.
Menurut Nafan, sentimen ini menyebabkan terjadinya kondisi panic selling. Investor asing pun masih mencatatkan aksi jual bersih (net foreign sell).
Berdasarkan data RTI, per hari ini net sell asing mencapai Rp1,05 triliun. Sedangkan selama sebulan ke belakang net sell asing mencapai Rp6,60 triliun di semua pasar.