REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero) atau PT PANN menjadi sorotan sejumlah anggota Komisi VI DPR saat rapat dengar pendapat di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/2).
Direktur Utama PT PANN Hery S Soewandi menjelaskan kondisi PANN yang mengalami kerugian perusahaan akibat Perjanjian Penerusan Pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA) yang sudah berlangsung begitu lama.
Hery mengatakan perusahaannya pernah dipercaya mengelola dua proyek yakni jetisasi pesawat dengan Jerman dan pemberdayaan kapal ikan dengan Spanyol. Namun, dua proyek ini tidak pernah rampung. Kondisi ini yang menyebabkan perusahaan terpuruk dalam likuiditas dan permodalan negatif.
"Dari kedua proyek tersebut, PANN tidak pernah mendapatkan hasil (keuntungan)," ujar Hery saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/2). Hery berharap suntikan dana berupa PMN non-tunai sebesar Rp 3,8 triliun mampu mengembalikan kondisi perusahaan.
Suntikan PMN akan berdampak pada upaya perusahaan memperbaiki struktur permodalan PT PANN dan perbaikan rasio utang PANN. Hery meyakini dengan adanya PMN, PANN mampu memberikan kontribusi lebih kepada negara melalui pajak, meningkatkan konektivitas, dan menyerap lapangan kerja. "Rencana PANN setelah mendapat PMN akan kolaborasikan unit pembiayaan maritim dan unit bisnis pelayaran," ucap Hery.
Hery juga menyinggung bisnis PANN di bidang perhotelan. PANN memiliki dua hotel yakni Hotel Grand Permata di Bandung dengan kelas bintang empat dan dan Grand Surabaya yang berbintang tiga.
Kedua hotel tersebut pernah menjadi hotel yang bagus pada masanya, namun sudah lama terbengkalai sehingga banyak properti sudah tua dan usang. Sejak masuk di PANN pada 2015, Hery melakukan investasi kepada dua hotel tersebut. Namun tidak begitu optimal lantaran keuntungan per tahun hanya sekitar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar.